Agama leluhur adalah istilah yang baru populer sejak era Reformasi. Agama leluhur sering digunakan secara bergantian dengan “agama asli,” “agama lokal,” “agama nusantara,” dan bahkan sering diidentikkan dengan “kearifan lokal.” Tulisan ini tidak berkepentingan untuk merumuskan definisi agama leluhur dan istilah-istilah serupa lainnya. Yang dipentingkan adalah kejelasan subjek materi dari penggunaan istilah tersebut. Agama leluhur merujuk pada praktik-praktik keagamaan lokal (subjek materi) yang sering diklaim sebagai praktik animis, magis, adat, budaya dan seterusnya, baik dalam wacana publik maupun dalam literatur (Maarif, 2016, 2017). Di antara contoh praktiknya adalah semedi, sesajen, kunjungan (ritual) ke gunung, hutan, sungai, dan lain-lain, bersih desaan seterusnya.
Sebagaimana agama-agama lain, yang dalam studi agama disebut sebagai “agama dunia,” agama leluhur juga memiliki penganut. Penganutnya tersebar di berbagai daerah di nusantara. Jumlah mereka yang diidentifikasi dan meregistrasi diri di lembaga-lembaga negara, seperti Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kejaksaan melalui Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem), berubah dari waktu ke waktu, dari 200 hingga lebih 300 kelompok/organisasi. Terakhir, menurut catatan Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi, jumlah mereka yang teregistrasi adalah 182 organisasi di tingkat pusat, dan lebih 1.000 organisasi di tingkat cabang (daerah).
Penganut agama leluhur terdiri dari penghayat kepercayaan dan masyarakat adat. Tidak semua penghayat dan masyarakat adat -karena banyak di antara mereka menolak- disebut sebagai penganut agama leluhur, dengan berbagai pertimbangan. Praktik adat/kepercayaan mereka misalnya disebutnya sebagai budaya bukan agama. Seperti akan dijelaskan dalam pembahasan, kategori agama dan budaya harus dipahami dalam konteks politik agama, di mana keduanya merupakan konstruksi politik, tepatnya bahasa kebijakan, untuk menentukan siapa yang (tidak) boleh diakui, dilindungi dan dilayani oleh negara. Terdapat enam kelompok yang akhirnya diakui, dilindungi dan dilayani sebagai kelompok penganut agama. Selain itu, khususnya penganut agama leluhur dikategorikan sebagai budaya dan karenanya tidak mendapatkan pelayanan dari negara atas nama pelayanan agama. Sekalipun kebijakan tersebut baru efektif sejak tahun 1978, tidak sejak Indonesia merdeka, tetapi dampaknya sangat hegemonik, seakan ahistoris.
Sebagai istilah, agama leluhur memang baru, tetapi subjek materinya telah eksis sebelum Indonesia merdeka. Narasi-narasi eksistensi agama leluhur bahkan menjangkau masa waktu yang tidak tercatat oleh sejarah, atau catatan sejarahnya menggunakan label lain, seperti primitif, animis, magis dan berbagai istilah pejoratif lainnya. Ia telah hadir sejak dulu bahkan sebelum dikenal istilah agama. Dalam konteks ini, agama leluhur secara politis dipahami sebagai kategori yang dibedakan dari agama resmi negara. Agama resmi negara: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu sering dinarasikan sebagai “agama impor,” dan agama leluhur adalah agama asli nusantara. Dalam perkembangannya, agama impor dijadikan sebagai agama resmi negara, sementara agama asli nusantara justru didiskreditkan, didiskriminasi dan dikriminalisasi. Ia justru dihancurkan dengan berbagai alasan seperti kemajuan, modernitas, pembangunan, dan seterusnya.
Pembedaan agama leluhur dari agama resmi negara tidak harus dipahami bahwa keduanya senantiasa saling bertentangan (mutually exclusive), setelah memeluk Islam, Kristen, Hindu, dan lainnya, seorang pemeluk agama leluhur otomatis meninggalkan agama leluhurnya, sebagaimana kecenderungan dominan dalam wacana publik, dan bahkan pengajaran/studi agama hingga hari ini (agama dipahami dan diajarkan secara eksklusif seakan bertentangan sama sekali dengan yang lainnya). Dalam realitasnya, segera setelah agama resmi dan agama leluhur bertemu dan berinteraksi, keduanya saling mempengaruhi dan saling berbagi, dan juga saling menundukkan. Banyak yang telah memeluk Islam, Kristen atau Hindu misalnya, tetapi mereka tidak meninggalkan adat/kepercayaan atau agama leluhurnya. Islam Kejawen, Islam Aboge, Islam Ammatoa, Hindu Kaharingan, Kristen Dayak, dan masih banyak lagi yang lainnya adalah contoh dari dampak pertemuan dan interaksi antara agama resmi negara dan agama leluhur. Sebagian menteorikan fenomena tersebut sebagai bentuk sinkretisme, tetapi jika merujuk pada persepsi penganut agama leluhur, agama dan adat/kepercayaan lokal tidak harus dipertentangkan. Keduanya jika mengandung ajaran kebaikan dan kebenaran dapat saja diterima, diikuti dan dipraktikkan. Memeluk Islam atau Kristen tidak meniscayakan hilangnya adat/kepercayaan lokal atau agama leluhur.
Persepsi lain, agama resmi negara dipeluk karena dipaksa. Bertahan pada agama leluhur berakibat fatal, mengancam keselamatan. Menjadi Islam, Kristen atau Hindu adalah untuk bertahan hidup. Persepsi penganut agama sangat beragam. Semuanya ditentukan oleh pengalaman masing-masing. Namun poin yang ingin ditunjukkan di sini adalah agama leluhur tidak harus dipertentangkan dengan agama resmi dalam pengertian bahwa jika seorang memeluk agama resmi, ia akan kehilangan agama leluhurnya. Agama leluhur tetap dipertahankan, bahkan dijadikan rujukan otoritas utama untuk religiusitasnya, sekalipun sudah mengidentifikasi diri sebagai pemeluk agama resmi, seperti Islam atau Kristen, dan lain-lain.
DINAMIKA POLITIK AGAMA DAN PEMAKNAAN AGAMA LELUHUR Tulisan ini memaparkan dinamika politik agama sejak awal kemerdekaan Indonesia, bahkan sebelumnya, hingga era Reformasi di mana penganut agama leluhur menjadi semacam “bulan-bulanan.” Dalam politik agama, penganut agama leluhur senantiasa menjadi target penundukan, diskriminasi dan kriminalisasi. Sekalipun negara telah menerbitkan dan meratifikasi berbagai undang-undang HAM, diskriminasi dan pelanggaran HAM terhadap penganut agama leluhur tetap dilegalkan dan terus berlangsung hingga hari ini atas nama agama resmi (politik agama). Berbagai penelitian tentang diskriminasi negara terhadap penganut agama leluhur telah dilaporkan dan didesiminasi, tetapi negara tetap saja memiliki argumen hukum untuk menjustifikasi diskriminasinya. Politik agama masih terlalu kuat “mensucikan” agama resmi. Agama resmi negara masih terlalu suci untuk disetarakan dengan agama leluhur. Kesucian agama, dalam politik agama, masih lebih diutamakan dibanding penegakan HAM.
Dinamika politik agama berdampak pada pemaknaan agama leluhur, termasuk perlakuan (negara) terhadapnya. Berdasarkan penjelasan di atas terkait subjek materi agama leluhur, kelompok adat dan abangan pada masa penjajahan Belanda merupakan penganut agama leluhur. Pada waktu itu, istilah agama leluhur tentu saja belum dikenal. Jangankan agama leluhur, terma agama sendiri juga belum populer sebagaimana digunakan saat ini. Dalam catatan beberapa penelitian, agama sebagaimana digunakan masyarakat seakan serupa dengan adat. Adat adalah agama. Demikian juga dengan Hindu dan Buddha. Keduanya tidak digunakan sebagaimana hari ini. Istilah abangan di satu sisi sering dikategorikan sebagai varian Islam (Geertz, 1960; Woodward, 1998), tetapi juga dijelaskan sebagai kelompok yang mempraktikkan tradisi-tradisi lokal Jawa, atau kejawen. Praktik kejawen tersebut pada laporan ini dirujuk sebagai praktik agama leluhur. Seperti akan dipaparkan, praktik inilah yang menjadi target penundukan dalam politik agama.
Pada masa Reformasi, agama leluhur sebagai kategori dalam wacana publik baru populer. Ia dikontraskan dengan agama resmi sebagai agama impor dan agama leluhur sebagai agama asli nusantara, warisan leluhur. Ia merujuk pada (penghayat) kepercayaan dan religiusitas, sering juga disebut dengan “spiritualitas” masyarakat adat. Sekali lagi ditegaskan, tidak penting dipersoalkan adanya fakta dari kelompok masyarakat adat yang tidak menyatakan diri sebagai penganut agama leluhur. Teori politik agama telah menjelaskan bahwa agama, kepercayaan, adat, budaya, dan seterusnya tidak lain adalah konstruksi politik dengan tujuan untuk melegitimasi kuasa dan kontrol oleh kelompok (agama) tertentu atas yang lain (kepercayaan, adat, dan budaya). Konstruksi politik tersebut sudah sangat hegemonik sehingga ia diterima tanpa kritik (taken for granted), dan sejarahnya dilupakan. Penghayat kepercayaan dan masyarakat adat telah menjadi target dan korban politik agama atas nama agama resmi di mana mereka wajib pindah agama karena agama leluhurnya tidak “sah” sebagai identitas kewarganegaraan.
KERAGAMAN PERSEPSI AGAMA VS ADAT Di level masyarakat, “agama” dan “adat” di satu sisi sering dipertentangkan, tetapi di sisi lain, keduanya juga kadang dianggap sama, atau paling tidak keduanya tidak bertentangan. Komunitas agama yang memiliki orientasi agama modern, ortodoks, dan puritan umumnya menganggap adat sebagai unsur budaya yang mencemari agama, tetapi komunitas agama yang memiliki orientasi keagamaan tradisional-kontekstual cenderung menerima adat sebagai sumber pengayaan agama. Selama adat tidak bertentangan dengan prinsip ajaran agama, misalnya ajaran tentang keesaan Tuhan, adat dapat dianggap sebagai unsur yang memperkaya keberagamaan.
Keragaman persepsi terkait makna agama vs. adat seperti di atas lazim pada masa penjajahan Belanda sampai ketika pemerintah Belanda mengeluarkan kebijakan pembedaan Agama vs adat di akhir abad ke-19. Akibat dari kebijakan tersebut, adat yang dilembagakan menjadi eksklusif berbeda dari institusi agama, dan kelompok agama pada gilirannya menganggap bukan hanya penjajah Belanda tetapi juga kelompok adat sebagai musuh, karena dianggap beraliansi dengan penjajah. Model kebijakan ini sering disebut sebagai “politik belah bambu”: warga negara dibelah dan dibedakan. Kelompok pertama ditekan, dan lainnya dikuatkan. Kebijakan pembedaan tersebut berdampak pada polarisasi dan ketegangan sosial antara kelompok Agama vs. kelompok adat.
Terkait dengan kebijakan pembedaan di atas, pemerintah Belanda pada masa yang sama juga mengeluarkan kebijakan “politik etis” yang menekankan kewajiban bagi pemerintah penjajah untuk memperhatikan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat jajahan. Dalam konteks kedua kebijakan tersebut, pemerintah penjajah cukup dilematis karena di satu sisi adat yang dilembagakan dan dikuatkan dipahami sebagai budaya “animis” (bukan agama, atau psudo-agama), anti-Eropa, dan antikemajuan.
Adat yang menurut Subagya adalah agama asli atau agama leluhur Indonesia dianggap primitif dan animis (Kruyt, 1915). Mereka perlu dimodernkan. Adat, sebagai agama leluhur, diakui eksistensinya, didukung keberlanjutannya, tetapi perlu diubah menjadi kemajuan, disesuaikan dengan kultur Eropa. Adat yang direvitalisasi direduksi maknanya. Status keagamaannya dianggap animis (psudo-agama) sebagaimana yang berkembang di Barat (Fitzgerald, 2003, 2007).
Masih terkait dengan konteks kebijakan politik etis pemerintah Belanda, tuntutan terhadap pluralisme hukum juga berkembang. Pemerintah dituntut tidak hanya menjalankan sistem hukum berdasarkan hukum Barat/Eropa. Ia juga dituntut untuk mengakui sistem hukum yang hidup dalam masyarakat jajahan. Penelitian hukum adat (adatrecht) kemudian dikembangkan oleh Van Vallenhoven, murid C. S. Hurgronje. Praktik-praktik adat di nusantara yang diidentifikasi memiliki konsekuensi hukum didokumentasikan (Fasseur, 2007).
Kajian adat berkembang, bahkan hingga saat ini, melalui pengembangan studi hukum adat. Makna adat yang sebenarnya sangat luas, mencakup berbagai dimensi kehidupan komunitas, tereduksi menjadi identik dengan hukum. Adat adalah tentang hukum. Masyarakat adat dipahami sebagai masyarakat hukum adat. Identifikasi adat sebagai hukum (semata) tentu berdampak pada eliminasi adat sebagai agama (Maarif, 2012).
UPAYA MENYETARAKAN KEBATINAN DENGAN AGAMA Ketika Depag berhasil membedakan kepercayaan (bukan agama) dari agama, Depag seakan semakin “sah” menekan “lawannya.” Di pihak lain, kelompok yang belakangan menyebut diri sebagai kelompok kebatinan mengkonsolidasikan diri. Mereka mendirikan berbagai perkumpulan dan organisasi. Pada tanggal 20 Mei 1949 Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu) dibentuk, dan setelah itu menyusul seperti Islam Sejati, Mistik Jawa-Hindu, Kawruh Naluri, Agama Merah Budha Budhi, dan lain-lainnya (Dwiyanto, 2010: 284). Pada Tahun 1951, Panitia Penyelenggara Pertemuan Filsafat dan Kebatinan yang dipimpin oleh Mr. Wongsonegoro mengadakan pertemuan bulanan. Kelompok ini kemudian melebur dalam Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI) yang belakangan dibentuk. Singkatnya, pada awal tahun 1950-an, berbagai kelompok kebatinan bermunculan. Pada tahun 1952, Depag Jawa Barat melaporkan kemunculan 29 aliran kepercayaan (Kroef, 1961: 18). Selanjutnya pada tahun 1953, Depag kembali melaporkan perkembangan aliran kepercayaan yang sudah mencapai 360-an (Subagya, 1981; Sihombing, 25-26).
Perkembangan kelompok kebatinan yang sebelumnya diklaim sebagai kelompok yang tidak/belum beragama tentu saja menyita perhatian pihak Depag. Di pertengahan tahun 1956, Depag kembali mengumumkan bahwa terdapat 63 aliran kebatinan di Jawa yang bukan pemeluk agama Islam, Protestan, dan Katolik: 35 berada di Jawa Tengah, 22 di Jawa Barat, dan 6 di Jawa Timur (Kroef, 1961: 18). Bagi Depag, fakta tersebut menunjukkan bahwa ancaman kelompok kebatinan telah menjadi kenyataan. Lebih lanjut, pada tanggal 17-19 Agustus 1956, Kongres II dilaksanakan di Solo. Pada kongres ini, hadir sekitar 2000 perwakilan dari 2 juta anggota kebatinan di seluruh Indonesia (Patty, 1986: 2; dikutip dari Mulder, 1978:5). Pada kongres tersebut, mereka memformulasikan definisi kebatinan sebagai prinsip dan sumber azas sila pertama Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa, untuk mencapai budi luhur, dan guna kesempurnaan hidup. Merespons tekanan Depag, kelompok kebatinan juga mendeklarasikan bahwa kebatinan bukan, dan tidak untuk menjadi agama baru, tetapi untuk meningkatkan kualitas keagamaan (Subagya, 1981: 76; Patty, 1986: 70; Dwiyanto, 2010: 285). Mereka seakan tanpa pilihan kecuali tunduk pada tekanan Depag bahwa agama harus memenuhi kriteria sebagaimana yang didefinisikannya. Akan tetapi, pada tahun 1957 BKKI mencoba melepaskan diri dari tekanan Depag. Mereka bersurat dan meminta Presiden Sukarno untuk mengakui status kebatinan setara dengan agama, dan mengusulkan 5 perwakilan mereka sebagai anggota Dewan Nasional (Patty, 1986: 70).
Namun pada masa itu pula, Pemuda Islam Indonesia, melalui kongresnya yang keempat, mengeluarkan resolusi meminta pemerintah untuk melarang berbagai bentuk klenik (Dwiyanto, 2010: 285). Istilah klenik ini adalah stigma negatif yang umum dilabelkan kepada praktik kebatinan pada waktu itu. Respons Sukarno kemudian disampaikan pada Kongres III BKKI pada 17-20 Juli 1957. Di kongres itu, Presiden Sukarno memberi sambutan penghargaan kepada kelompok kebatinan karena menjadikan Pancasila sebagai dasar falsafah organisasi dan kehidupan mereka. Namun, pada saat itu juga, Presiden Sukarno, dalam sambutannya, mengingatkan untuk berhati-hati dengan klenik atau ilmu hitam. Kongres tersebut pun menegaskan bahwa kebatinan bukan klenik, tetapi merupakan aktivitas spiritual murni (atau bisa disebut “ilmu putih”) (Patty, 1986: 70-71), sebuah upaya pencarian keharmonisan dalam diri, antara diri dan sesama manusia, dengan alam, dan dengan Tuhan Yang Maha Esa (Patty, 1986: 3-4; dikutip dari Lee, 1976).
Dua tahun setelah kongres di atas, tepatnya pada tanggal 14-15 November 1959, BKKI mengadakan seminar di Jakarta. Seminar tersebut mendiskusikan tentang pendidikan nasional dan merekomendasikan agar kebatinan menjadi prinsip Pergulatan wacana agama vs. kebatinan di atas direkam dalam rumusan TAP MPRS No. II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969 yang ditetapkan di kota Bandung pada tanggal 3 Desember 1960.
Pada Pasal 2, Bidang Mental/Agama/Kerohanian/Penelitian ayat (1) menyatakan:
(1) “Melaksanakan Manifesto Politik di lapangan pembinaan Mental/Agama/Kerohanian dan Kebudaya-an dengan menjamin syarat-syarat spiritual dan material agar setiap warga negara dapat mengembangkan kepribadiannya dan kebudayaan Nasional Indonesia serta menolak pengaruh-pengaruh buruk kebudayaan asing.”
Frase “Mental/Agama/Kerohanian dan Kebudayaan” yang dituliskan pada ayat (1) di atas menunjukkan bahwa “denominator” kebatinan: “kerohanian” dan “kebudayaan” diakomodasi setara dengan “agama.” Pergerakan kelompok kebatinan cukup efektif mempersoalkan definisi agama yang digunakan Depag. Mereka berhasil mendapatkan pengakuan secara setara. Akan tetapi, perkembangan tersebut tidak berarti bahwa tekanan terhadap mereka selesai. Pada pasal yang sama yaitu Pasal 2 ayat (3) misalnya menyatakan:
“Menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari sekolah rakyat sampai dengan universitas-universitas negeri dengan pengertian bahwa murid-murid berhak tidak ikut serta, apabila wali murid/murid dewasa menyatakan keberatannya.”
“Pendidikan agama” pada ayat (3) di atas di satu sisi menunjukkan tekanan kelompok santri terhadap kelompok kebatinan, di mana anak-anak mereka akan mendapatkan pendidikan agama (bukan kebatinan) yang mereka tidak yakini. Tetapi di sisi lain, terjaminnya hak untuk tidak mengikuti pelajaran agama menunjukkan posisi tawar kelompok kebatinan (Suhadi, 2014). Berkaitan dengan itu, pada 28-29 Januari 1961, Kongres Nasional BKKI dilaksanakan di Ponorogo, Jawa Timur. Pada kongres ini, mereka mengeluarkan beberapa pernyataan: (1) prinsip kebatinan adalah sepi ing pamrih, rame ing gawe; Memayu-hayuning bawana; (2) pendidikan moral bagi pembangunan karakter harus diajarkan di setiap level pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai pada pendidikan tinggi; dan (3) Ketuhanan harus melandasi pikiran dan praktik kehidupan sehari-hari (Patty, 1986: 71-72). Poin kedua jelas merupakan respons terhadap ayat (3) Pasal 2 sebelumnya. Pendidikan moral adalah alternatif dari pendidikan agama. Sebagai bagian dari respons terhadap tekanan melalui pendidikan agama di sekolah-sekolah, pada bulan April 1961, kelompok kebatinan membentuk Gabungan Musyawarah Kebatinan Indonesia (GMKI). Tujuan GMKI adalah memberi perhatian lebih pada masalah pendidikan, informasi dan politik (Patty, 1986: 71-72).
LEGALISASI KESETARAAN AGAMA LELUHUR Setelah kekuasaan beralih ke Suharto pada tahun 1968, Suharto mulai menancapkan fondasi rezim Orde Baru. Partai politik Sukarnois, Partai Nasional Indoensia (PNI), Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan partai-partai politik, termasuk partai-partai Islam dipaksa untuk melebur ke salah satu dari dua partai: Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) (Rabasa and Haseman, 2002: 36; dikutip dari Noer, 2000). Di sisi lain, penguasa membentuk Golongan Karya (Golkar) sebagai instrumen politik rezim Orde Baru-nya.
Di bawah SKK Golkar, kelompok kebatinan diminta untuk mengganti nama “kebatinan” menjadi “kepercayaan.” Seperti terlihat sebelumnya, keduanya, “kebatinan” dan “kepercayaan”, sebenarnya digunakan secara bergantian. Di bawah Golkar, “kepercayaan” diminta untuk lebih dipopulerkan. Pertimbangannya adalah untuk menegaskan status hukum (konstitusional) kelompok tersebut. Penggunaan kepercayaan bagi kelompok tersebut dapat dikaitkan langsung dengan UUD 1945 Pasal 29. Sekali lagi, sejak di bawah SKK Golkar, aliran kebatinan berubah menjadi aliran kepercayaan, dan organisasi kepercayaan secara resmi menjadi bagian dari Golkar (Patty, 1986:11).
Di bawah Golkar, kelompok kebatinan terus berusaha menghimpun seluruh penganut kepercayaan dalam satu wadah organisasi yang berjuang untuk mendapatkan pengakuan secara legal dari negara. Pada masa ini pula, kelompok masyarakat adat yang tersebar di luar Jawa diikutsertakan. Tradisi-tradisi adat –yang pada masa penjajahan Belanda dilabeli sebagai animis tetapi pada waktu yang sama direvitalisasi, pada masa penjajahan Jepang dipinggirkan karena dianggap antek penjajah Belanda dan bertentangan dengan Islam, dan setelahnya kajian adat lebih diidentikkan dengan hukum (hukum adat)– dikategorikan sebagai kepercayaan, kerohanian dan kebatinan. Pada tanggal 7-9 November 1970, BK5I mengadakan simposium. Prof. Pringgodigdo, salah satu perumus UUD 1945, menjelaskan di simposium tersebut bahwa pengertian “kepercayaan” pada Pasal 29 adalah kebatinan, kejiwaan, dan kerohanian. Selain itu, kedudukan kepercayaan adalah sejajar dengan agama (Dwiyanto, 2010: 287).
Pada bulan berikutnya, tepatnya pada 27-30 Desember 1970, mereka melaksanakan Musyawarah Nasional Kepercayaan di Yogyakarta. Dalam musyawarah tersebut, mereka menegaskan bahwa salah tafsir terhadap Pasal 29 UUD 1945 telah merugikan aliran kepercayaan. Kata “kepercayaan” pada pasal tersebut seharusnya dipahami dan diakui sejajar dengan agama. Aliran kepercayaan berhak mendapatkan perlakuan setara di hadapan hukum, hak organisasi, pengajaran kebatinan di sekolah, hak perkawinan khusus, dan subsidi dari pemerintah. Mereka menjelaskan bahwa kata “kejiwaan” (dari jiwa) dan “kerohanian” (roh) muncul setelah “kebatinan.” Semua kata-kata tersebut dirangkum menjadi kepercayaan (dikutip dari Subagya, 1981). Uraian konsep-konsep tersebut didasarkan pada mistisisme Jawa atau kejawen (sering dikonotasikan dengan takhayul, magis, dan klenik atau occultism). Konsep-konsep tersebut semuanya menekankan makna keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, aliran kepercayaan juga memiliki rangkaian doktrin dan struktur jamaat/umat, sehingga kedudukannya tak perlu diragukan setara dengan agama (Patty, 1986:10; Dwiyanto, 2010: 287).
Keputusan pemerintah, melalui Golkar, yang menerima organisasi kepercayaan sebagai lembaga formal adalah sebuah langkah penting karena dengan demikian pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mendukung dan melayani kelompok tersebut secara finansial, sebagaimana kelima kelompok agama (Patty, 1986:11). Pada 20 Januari 1971, delegasi Munas Kepercayaan yang diketuai oleh Mr. Wongsonegoro menghadap Presiden Suharto. Mereka mengajukan empat hal: 1) legalitas kehidupan kepercayaan (kebatinan, kerohanian, kejiwaan), 2) pendidikan moral Pancasila, 3) kedudukan Sekretariat Kerjasama Kepercayaan, dan 4) perayaan Satu Syuro sebagai hari besar Kepercayaan. Sebagai tindak lanjut, pada 27 Januari 1971 “Satu Syuro Syaka 1901” dirayakan di berbagai tempat, dengan doa, sesaji, pewayangan, serta sambutan-sambutan, termasuk sambutan yang dibawakan langsung oleh Presiden Suharto (Dwiyanto, 2010: 288).
Pada tanggal 5-12 Agustus 1971, Kongres Internasional Subud (salah satu kelompok kepercayaan terbesar, yang pesertanya terdiri dari perwakilan 79 negara) diadakan di Jakarta, dan dihadiri oleh Presiden Suharto. Sang presiden bahkan memberi sambutan yang menegaskan, “Pemerintah harus memberikan tempat yang wajar kepada aliran kepercayaan, kerohanian, kejiwaan, dan kebatinan (Dwiyanto, 2010: 288).” Posisi politik dan dukungan pemerintah terhadap kelompok kepercayaan semakin meningkat setelah pemilu 1971. Sekretariat Kerja Sama antar-Kepercayaan-Kebatinan, Kejiwaan dan Kerohanian (SKK) terus berusaha untuk mensistematisasi dan memformalkan ajaran-ajaran kepercayaan dengan tujuan untuk memenuhi “persyaratan” pengakuan, dan perwakilan secara resmi dalam Direktorat Jenderal di Kementerian Agama. Lebih lanjut, pada tanggal 16 Februari 1972, dalam perayaan Satu Syuro di Istora, Menteri Agama Mukti Ali mengatakan bahwa pemerintah tidak melarang aliran-aliran kepercayaan (Dwiyanto, 2010: 288).
Upaya pemerintah untuk mensetarakan kepercayaan dengan agama tentu saja mendapat protes, seperti sebelumnya. Pada tanggal 11 April 1972, Lembaga PAKEM yang telah direorganisasi dan juga didirikan di berbagai daerah melaporkan bahwa terdapat 427 Cabang Kebatinan, 217 aliran kepercayaan, dan sebanyak 188 dari aliran-aliran tersebut berada di Jawa Tengah. Semua aliran yang berjumlah 644 tersebut terdaftar di Sekretariat Kerjasama Kepercayaan, pada tingkat pusat dan cabang. (Dwiyanto, 2010: 87). Pada bulan yang sama, tokoh Islam, Hamka menerbitkan brosur-brosur yang bertema “Mengembalikan kebatinan kepada pangkalnya.” Brosur tersebut adalah bentuk kampanye untuk membendung gerakan aliran-aliran kepercayaan yang menuntut pengakuan setara dengan agama. Akan tetapi, gerakan kelompok Islam untuk mengembalikan aliran-aliran kepercayaan yang diklaim sejatinya “berinduk” kepada agama tidak berhasil (Dwiyanto, 2010: 288).
Menjelang Sidang MPR 1973, upaya legalisasi kesetaraan kepercayaan semakin menguat, dan perkembangan tersebut juga semakin memancing reaksi protes dari kelompok Islam. Pers Islam meningkatkan kampanye “hitam” terhadap kelompok kepercayaan sebagai klenik, keberhalaan, dan takhayul (Dwiyanto, 2010: 288). Terlepas dari kampanye tersebut, secara de facto posisi kepercayaan diakui setara dengan agama sebagaimana tercantum dalam GBHN yang disusun dan diputuskan melalui TAP MPR 1973 (Moulder, 1978: 8). TAP MPR 1973 dengan demikian adalah bukti bahwa tuntutan kelompok kepercayaan untuk diakui setara dengan agama diterima oleh negara. TAP MPR 1973 sebagaimana tercantum dalam GBHN misalnya menegaskan bahwa kepercayaan dan agama adalah ekspresi kepercayaan terhadap Tuhan YME yang sama-sama sah (dikutip dari Subagya, 1976: 125).