Dalam kegiatan upacara agama Hindu yang biasanya dirancang serta dilaksanakan dengan semarak dan meriah, bait Kidung Wargasari di atas diresitasikan seiring dengan prosesi upacara tersebut. Juru kidung meresitasikannya sebagai kidung pembukaan untuk menandai dimulainya suatu prosesi upacara agama Hindu. Dengan serta merta, kentongan dipukul dan gamelan pun ditabuh seiring dengan suara genta dan rapalan doa para sulinggih atau pamangku yang memimpin jalannya upacara. Begitulah prosesi agama Hindu berlangsung secara turun-temurun. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah mengapa umat Hindu meresitasikan kidung dalam prosesi keagamaan? Jawaban yang paling pasti didapatkan adalah “mula keto”. Hal itu mengindikasikan bahwa wawasan pengetahuan umat Hindu tentang makna yang ada di balik aktivitas keagamaan yang dilakukannya masih terbatas.
Karena itu, pemahaman dan pendalaman umat Hindu akan ajaran agama Hindu masih perlu ditingkatkan, sebab kemantapan beragama bukan hanya dengan melaksanakan upacara yang semarak, melainkan dengan jalan meningkatkan pemahaman dan pendalaman terarah sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama Hindu secara utuh, baik tattwa, susila, maupun upacara. Untuk itu, dalam kesempatan ini saya mencoba mengkaji filosofi dan fungsi kidung dengan menempatkan kidung sebagai sastra-profetik (meminjam istilah Abdul Hadi, 2004).
Sebagai sastra profetik, kidung diasumsikan memiliki semangat profetik yang merupakan segi sentral atau pusat bertemunya dimensi sosial dan transedental. Dimensi sosial menunjuk pada kehidupan kemanusiaan di alam nyata atau bersifat profan (sakala). Dimensi transendental menunjuk pada kehidupan yang lebih tinggi (niskala), yang berpuncak pada Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dimensi transendental ini memberikan kedalaman pada sastra kidung, menopangnya dengan nilai-nilai kerohanian, membuat karya kidung bersifat vertikal. Dengan demikian, sastra kidung dapat dipandang sebagai jalan menuju Tuhan atau ibadat keindahan serta merupakan sarana menuju penemuan dan pengenalan kembali hakikat diri manusia. Karena itu, kidung akan dilihat sebagai sistem simbol yang berfungsi mengarahkan tingkah laku atau bentuk-bentuk simbolik yang dianggap sebagai media penyimpan makna, sebagai proses penandaan, bersifat relatif, arbitrer, buatan yang secara aktif diciptakan oleh peneliti selaku penikmat dengan menetapkan kode-kode untuk menentukan berbagai jenis signifikansi dengan sejumlah lexias (elemen-elemen yang dapat memuat beragam makna untuk beragam penikmat) di seluruh teks. Peneliti selaku penikmat berada dalam posisi writerly text yakni penikmat aktif dalam suatu proses kreatif untuk membuka ruang penafsiran (Barthes, 2007). Sejalan dengan itu, pendekatan hermeneutik menjadi pendekatan yang relevan dengan memandang kidung sebagai pengalaman hermeneutik yang menyingkap kebenaran. Kemunculan kebenaran di dalam pengalaman hermeneutik mendatangkan pertemuan dengan negativitas yang intrinsik pada pengalaman sehingga pengalaman menjadi “momen estetik”. “Momen estetik” menjadikan kidung secara nyata dapat digunakan, untuk membuka ruang di dalam sesuatu, untuk memfungsikan kebenaran menjadi termanifestasikan. Pengalaman hermeneutik memahami apa yang dikatakan, dalam hal ini kidung, menurut keadaan sekarang. Lagipula, makna karya sastra kidung adalah dinamis, temporal, dan personal (Palmer, 2003).
Kidung memang belum banyak diteliti dan dipublikasikan para peneliti sastra tradisional. Penerbitan teks kidung berhasil dilakukan para filolog antara lain Kidung Sudamala (Callenfels,1925) dalam tulisan berjudul “De Sudamala in de Hindu-Javaansche kunst”. Pada penelitian tersebut, Callenfels melihat peran “Sudamala” dalam tradisi peruwatan pada kehidupan masyarakat Hindu Jawa. Ia juga berpendapat bahwa bahasa Jawa Pertengahan bukan saja puluhan tahun lebih tua daripada runtuhnya Majapahit, melainkan beberapa abad. Bahasa Jawa Pertengahan digunakan dalam pergaulan sehari-hari sebagai bahasa tutur yang hidup. Berg (1927, 1930, 1931) menerbitkan Kidung Sunda, Kidung Ranggalawe, dan Kidung Harsa Wijaya dengan tulisan berjudul “Kidung Sunda, Inleiding, tekst, vertaling en aanteekeningen”; “Rangga Lawe, Middeljavaansche historische roman”; dan “Kidung Harsa-Wijaya”. Pada prinsipnya, dalam ketiga penelitian tersebut Berg memandang sastra kidung sebagai roman sejarah. Prijono (1938) menerbitkan Kidung Sri Tanjung dalam tulisan berjudul “Sri Tañjung, een Oud Javaansch verhaal”. Hal prinsip yang dapat dikatakan dari penelitian tersebut adalah bahwa Prijono memandang kidung bukan sebagai sastra Jawa Pertengahan, melainkan sebagai cerita Jawa Kuna. Poerbatjaraka (1940) menerbitkan Kidung Dewa Ruci dalam tulisan berjudul “Dewa-Roetji”. Nuarca (1992) menerbitkan Kidung Bima Swarga dalam tulisan berjudul “Kidung Bima Swarga Satu Kajian Filologis”. Kedua peneliti terakhir lebih memokuskan penelitiannya pada aspek filologi, khususnya suntingan teks disertai aparat kritik dan terjemahan. Penelitian kidung dari sisi sistem kesastraannya tidak tampak dalam penelitian tersebut.
Pembahasan kidung dari sisi sistem kesastraan dirintis Robson (1971) dalam tulisan berjudul “Wangbang Wideya a Javanese Panji Romance”. Ia berjasa dalam meletakkan dasar-dasar penelitian sastra kidung dengan melihat struktur Kidung Wangbang Wideya. Metrum Těngahan dalam sastra kidung dibahas Vickers (1986; 2005) dalam karya tulis berjudul “The Desiring Prince: a Study of the Kidung Malat as Text”. Pada studinya itu, Vickers mencoba membahas metrum Těngahan yang digunakan dalam Kidung Malat. Akan tetapi, ia mengalami kesulitan ketika hendak merumuskan pola metrum. Ia berpendapat bahwa bunyi akhir pada akhir bait metrum Těngahan ditentukan berdasarkan bunyi vokal yang dominan digunakan dalam nama sebuah metrum Těngahan. Misalnya, satu bait metrum Kaðiri akan berakhir dengan bunyi i karena vokal i dominan pada kata Kaðiri. Kiranya, dugaan tersebut masih perlu dibuktikan lebih jauh karena bertentangan dengan kenyataan. Tidak semua bait metrum Kaðiri berakhir dengan bunyi i. Memang benar bait panjang bagian pembukaan dan bait pendek bagian batang tubuh metrumKaðiri berakhir dengan bunyi i. Namun, bait pendek bagian pembukaan metrum Kaðiri berakhir dengan bunyi o dan bait panjang bagian batang tubuh metrum Kaðiri justru berakhir dengan bunyi a. Dengan demikian, pendapat tersebut tidak bisa diberlakukan secara mutlak untuk menentukan bunyi akhir pada setiap metrum Těngahan. Banyak persoalan sastra kidung perlu mendapat perhatian para peneliti sastra tradisional (Adiwimarta, 1999:93). Misalnya, Berg (1927:133; 1931:2) mengatakan bahwa dirinya lebih suka tidak membuat subbagian dalam bait-bait kidung yang diterbitkannya selama struktur metrumTěngahan belum dipelajari secara lebih mendalam. Pendapat Berg tersebut meng-indikasikan bahwa struktur metrum Těngahan masih merupakan masalah yang perlu dibahas lebih lanjut agar dapat memberi informasi yang lebih komprehensif terhadap upaya penelitian sastra kidung pada masa-masa mendatang.
Zoetmulder (1985:143) mengatakan bahwa jumlah sastra kidung yang telah diterbitkan sangat sedikit. Sementara itu, hasil penelitian sastra kidung diperlukan dalam penyusunan sejarah kebudayaan. Kelangkaan penelitian sastra kidung disebabkan beberapa kesulitan. Kesulitan utama adalah dalam naskah-naskah kidung tidak ada catatan pungtuasi yang memisahkan baris yang satu dengan baris yang lain dalam satu bait tertentu. Pembaca kidung berhadapan dengan lautan suku kata. Kesulitan berikutnya adalah teks kidung, yang disalin dari masa ke masa, mengalami perubahan lebih parah daripada teks kakawin. Kecuali itu, sastra kidung menggunakan idiom puitis Jawa Pertengahan. Sehubungan dengan adanya kesulitan-kesulitan tersebut, Zoetmulder (1985:144) menyarankan bahwa penelitian sastra kidung mungkin lebih tepat dilakukan oleh sarjana Bali karena mereka masih akrab dengan sastra kidung hingga dewasa ini.