Tercatat oleh sejara, setelah era kemerdekaan, negara merasa perlu hadir untuk mengatur warganya dalam berkeyakinan. Maka ditetapkanlah beberapa syarat mendasar, mulai dari keberadaan tempat suci, buku suci, orang suci (nabi), termasuk agama dimaksud telah diakui oleh seluruh dunia.
Bingung dengan situasi ini, tetua di Bali pada era 58 mulai merancang strategi, bila tak segera dilabeli, artinya orang Bali harus siap hijrah menjadi jemaat gereja atau sesegera mungkin mengucapkan kalimat syahadat. Gama Bali, Gama tirta adalah beberapa nama yang ditawarkan kepada Pemerintah pusat untuk label keyakinan yang selama ratusan tahun telah berjalan di Bali. Namun sayangnya, karena tak memenuhi syarat di atas, semua nama itu ditolak, hingga akhirnya muncul nama hindu, sebab agama inilah yang nampaknya mirip dengan jalan manusia Bali. Kitab sucinya kemudian dilabeli Weda walau sesungguhnya di Bali tak sepenuhnya berbicara Weda, tak sedikit tinggalan-tinggalan teks diwariskan, mulai dari teks-teks sosial, budaya, pengobatan, bahkan sampai teks kalepasan.
Bersyukurlah nama hindu diterima, ini berarti angin segar, tidak saja bagi orang Bali, namun bagi semua warga nusantara dengan segela kecerdasan localnya, entah Suku Tengger di Jawa, Badui di Banten, Keharingan di Berneo, Kei, Kapitayan dan banyak lainnya. Walau tak benar-benar sama dengan hindu di India, namun paling tidak, dengan label hindu, eksistensi mereka berkeyakinan masih bisa dilanjutkan hingga sampai sekarang.
Belakangan, ada fenomena menarik dirasakan, seiring menguatnya pengakuan negara terhadap hindu yang berarti negara menjamin keberadaan anggaran dalam APBN, ditambah semakin maraknya sampradaya ala India tumbuh di nusantara, gesekan-gesekan mulai dirasakan. Beberapa narasi mulai digemakan, bahwa hindu di nusantara harus kembali ke weda, bahwa hindu di nusantara bukanlah Bali sehingga semua keyakinan di nusantara dalam naungan hindu jangan diBalikan. Semua mau tampil, semua mau menunjukkan diri, tak ubahnya selorohan jaman kemerdekaan, klaim veteran bermunculan padahal sekalipun tak pernah terlibat langsung dalam peperangan.
Bali atau lebih detailnya manusia Bali yang berada di pulau Bali (hindu) sepertinya bukanlah manusia picik, apalagi jumawa mengaku diri paling berjasa terhadap nusantara. Tak juga ada niatan menyeragamkan semua hindu di nusantara harus seperti di Bali. Pada dasarnya, semua keyakinan dihargai, dihormati, bila umat agama lain saja dihormati serta diberi ruang bertumbuh, maka menjadi aneh bila kemudian muncul narasi-narasi aneh yang menyerang Bali seperti di atas.
Tulisan ini dibuat bukan bermaksud membela diri, namun lebih bermaksud mengingatkan, seiring semakin menguatnya narasi-narasi miring terhadap Bali beserta keyakinannya. Orang Bali tak butuh dihormati, tak juga gila sanjungan, namun alangkah eloknya, bila kita semua mampu saling menjaga, bukan menghakimi. Alih-alih menghujat, lebih tepat bila semua keyakinan yang sekarang bernaung dalam label hindu di Nusantara mengucapkan terimakasih kepada tetua Bali, sebab bila tidak, mungkin saat ini anda atau saya tak akan pernah menyampaikan diksi "back to Veda" atau narasi-narasi sejenis yang seakan menyerang Bali.