Pan Balang Tamak

Pada masyarakat Bali banyak tersebar cerita-cerita rakyat yang oleh masyarakat disebut dengan satua Bali. Secara sempit satua Bali adalah cerita yang penyebarannya secara turun temurun dan dari mulut ke mulut, serta tidak diketahui siapa penciptanya. Sedangkan dalam arti luas satua Bali berasal dari karya-karya pengarang, pengarang, baik yang menggunakan menggunakan bahasa Bali atau menggunakan bahasa Jawa Kuno.

Salah satu satua atau cerita rakyat tradisional Bali, seperti: Pan Balang Tamak merupakan salah satu wacana prosa tulis. Jika dilihat dari cara dan tujuan pemaparannya, cerita ini mementingkan urutan waktu dan cara-cara bercerita yang diatur melalui alur (plot), dituturkan oleh persona pertama dan ketiga dalam waktu tertentu dengan maksud memperluas pengetahuan pendengar dan pembaca. Wacana narasi ini berorientasi pada penonjolan tokoh dalam ceritanya yang dibahas dari penelitian ini dengan mengamati juga persepsi masyarakat.

Meski terkesan memiliki pemikiran cerdik dan licik, pesan moral yang terkandung dalam cerita Pan Balang Tamak saat ini masih digunakan. Baik itu dalam kehidupan sehari-hari maupun aturan adat yang berlaku di desa.

Satua (cerita) Pan Balang Tamak merupakan satua yang sedikit berbau jenaka dan mengandung nilai-nilai luhur dalam pergaulan hidup di Bali mengenai tatanan masyarakat sebagai makhluk sosial. Cerita ini dapat kita golongkan ke dalam legenda karena penduduk pedesaan di Bali menganggap tokoh yang bernama Pan Balang Tamak benar-benar pernah hidup. Di Desa Nongan di daerah Rendang, Karangasem, malah ada Pura yang disebut Pura Pabianan untuk memujanya yang dikenal dengan Pura Balang Tamak.

Di Bali sendiri tatanan masyarakat diatur dalam adat yang terkandung menjadi satu wadah yaitu Desa Pekraman (Desa Adat). Pada Desa Pekraman sendiri kemudian dibagi lagi dalam kelompok-kelompok masyarakat yaitu, Banjar. Di bawah Banjar ada lagi namanya Tempek.

Tempek akan terwujud jika anggota Banjar melebihi kapasitas dari control perangkat Banjar atau rumah-rumah tiap kepala keluarga terlalu jauh dari Banjar. Setiap kelompok masyarakat baik Banjar maupun Tempek memliki seorang kepala yang dinamakan “Kelihan” (Kepala Dusun), dan dengan perkembangan waktu terjadi perubahan fonem dalam pengucapan sebuatan ini sehingga menjadi “Kelian“

“Kelian” berarti yang ter-tua (Kelih) yang memliki filosofi menjadi terdepan dan pemimipin dalam sebuah kelompok. Dalam tatanan sosial ber-Banjar Adat di Bali tentu sangat memliki tantangan dalam mengatur sekian kepal keluarga dengan segudang aturan adat yang menumpuk. Sehingga untuk menumbuhkan rasa kebersamaan dan tanggung jawab sebagai makhluk sosial terciptalah cerita pergaulan Pan Balang tamak.

Kata Pan Balang Tamak berarti ; Pan yang berarti Bapa atau Bapak. Balang diambil dari filosofi Belalang atau di Bali disebut Balang yang memliki makna cekatan dan cerdik seperti Belalang. Tamak berarti rakus atau sifat negative yang lebih mementingkan ke-egoisan sendiri.

Pan Balang Tamak dapat diartikan sebagai sosok orang tua panutan yang kecerdikannya melebihi orang-orang disekitarnya, dan bisa menundukan ke-tamak-an, singkatnya Pan Balang Tamak dapat diartikan sebagai ayahnya sumber kecerdikan dan ketamakan, sehingga orang yang dinamai Pan Balang Tamak ini dapat dikatakan sebagai orang yang sudah menguasai prilaku orang-orang disekelilingnya.

Selain itu, tidakan yang dilakukan Pan Balang Tamak tidak bisa disalahkan begitu saja. Karena sesuai dengan perintah seorang pemuka desa ia hanya menjalankannya saja. Karena itu, saat pengarahan seperti tedun ke banjar saat ayam berkokok juga harus ditekankan oleh pemuka desa. Karena menurut Tragia, setiap orang bisa saja tidak memilki ayam jantan seperti Pan Balang Tamak tersebut “Maka sampai sekarang pesan moral yang ada dalam cerita itu masih dipergunakan oleh krama,”.

Model seperti itu, lanjutnya merupakan suatu pesan dari cerita Pan Balang Tamak. Dikarenakan setiap arahan dan aturan itu harus jelas dan tegas. Selain itu, mengungkapkan supaya tidak ada tumpang tindih dalam bermasyarakat. Seperti yang dilakukan oleh Pan Balang Tamak sampai memperdayakan tokoh desa dan warga.

Palinggih Pan Balang Tamak yang ditempatkan di Pura Puseh sangat sesuai. Dikarenakan ia adalah seorang rakyat yang memiliki kebenaran yang indentik. Sampai saat ini belum pernah menemukan lontar yang mengacu cerita tersebut. Tetapi itu merupakan salah satu cerita rakyat yang melengkapi kebenaran seorang raja. Bahkan, salah satu awig-awig suatu desa mengacu ke cerita tersebut.

SATUA PAN BALANG TAMAK Alkisah di sebuah desa di Bali tinggal seorang lelaki bernama Pan Balang Tamak, yang sudah berkeluarga (sudah beristri), bahkan punya anak, sayangnya nama istri dan anak Pan Balang Tamak tidak disebutkan siapa namanya.

Pan Balang Tamak tidak hidup sendirian di desa itu, ada warga lain disana, yang satu banjar (dusun) dengannya. Pan Balang Tamak dilukiskan tertutup, tidak suka bergaul, oleh karenanya dia tidak disukai disana. Pan Balang Tamak adalah sosok warga desa yang cerdik dan kritis, mampu melihat celah kelemahan sebuah kebijakan atau aturan, terlebih lagi jika kebijakan itu terlalu dipaksakan, terlalu dibuat-buat. Karena kalah pintar dan sering merasa kewalahan, Prebekel (kepala desa), Bendesa Adat (tetua adat) dan Kelian Banjar berusaha menghukumnya, tetapi selalu saja gagal karena Pan Balang Tamak selalu berhasil mementahkan argumen perangkat desa tersebut. Untuk menakut-nakuti Pan Balang Tamak, perangkat desa kerap mencatut nama Raja (penguasa) untuk memuluskan perintahnya.

PAN BALANG TAMAK MENGELABUHI KRAMA BANJAR ADAT

Suatu hari, di Banjar akan diadakan kerja bakti karena Banjar akan dipakai untuk tempat upacara adat. Kelian mengumumkan di hadapan khalayak ramai.

“Esok, tepatnya saat ayam sudah turun dari kandangnya (jam 6 pagi), diharapkan para kepala keluarga hadir ke Bale Banjar untuk kerja bakti. Silakan bawa peralatan sendiri-sendiri. Jika ada yang mangkir atau tidak membawa peralatan, akan dikenai sangsi adat berupa denda sebesar 5 gobang (1/2 rupiah)” demikian Kelian berkata.

Pan Balang Tamak yang hadir di antara khalayak ramai mencari akal supaya tidak mendapat denda karena ia tidak mempunyai peralatan yang disebutkan. Ide cerdik pun terlintas di dalam benaknya. Teringatlah dia saat ini sedang memiliki ayam yang sedang mengeram telornya, dan semua orang sudah mengetahui bahwa ayam kampung yang sedang mengeram telornya, tidak menentu waktunya untuk turun dari kandangnya. Maka bergegaslah dia pulang untuk memeriksa kembali ayamnya dan tidak lupa dia memberi sedikit makanan kepada ayam tersebut, dengan maksud agar ayam tersebut turunnya agak siang.

Keesokan harinya, saat ayam sudah keluar dari kandangnya, semua orang berkumpul ke Banjar, maka dimulailah kerja bakti-gotong royong, hingga hari beranjak siang. Disaat kegiatan menjelang usai, datanglah Pan Balang Tamak dengan santainya. Oleh Jro Kelian Banjar, maka ditegurlah Pan Balang Tamak:

“Kenapa kamu baru datang, kegiatan krama banjar sudah hampir selesai” ujar Jro Kelian.

“Ampure (maaf) Ida Dane sareng sami (tuan-tuan sekalian), bukankah Jro Kelian kemarin mengumumkan agar datang berkumpul di balai Banjar tepatnya saat ayam sudah turun dari kandangnya. Nah, ayam tyang (saya) baru saja turun, dari pagi saya menunggu ayam saya untuk turun dari kandangnya, ini baru turun saya sudah bergegas ke banjar, jadi salahkah saya?” jawab Pan Balang Tamak.

“tidak mungkin… ayam dirumah saya belum terlihat matahari sudah turun”, gerutu krama Banjar.

Pan Balang Tamak menjawab, “itu ayam Jro krama banjar, ayam saya baru saja turun, kalau tidak percaya, mari singgah ke saya dan lihat sendiri ayam saya itu”.

Kelian dan krama banjar pun bergegas menuju rumah Pan Balang Tamak, dengan maksud ingin menghukum dendanya. tetapi setelah sampai di rumah Pan Balang Tamak, krama banjar menyaksikan sendiri ayam-ayam Pan Balang Tamak baru turun dari kandangnya, yang sedang diberi makan oleh istrinya. Setelah diselidiki oleh krama banjar, ternyata ayam-ayam Balang Tamak sedang mengeram telornya. Maka dengan wajah kecewa karena tidak bisa mendendanya, dan bubarlah kerumunan krama banjar.

BERBURU DENGAN WARGA DESA Pada suatu waktu Prebekel Desa mengundang rakyatnya untuk parum (rapat) di Wantilan (Balai) desa, semua penduduk hadir tidak terkecuali Pan Balang Tamak.

“Besok pagi Raja ingin berburu ke hutan bersama kita sekalian. Besok pagi saat matahari terbit, seluruh lelaki dewasa di desa ini sudah berangkat ke hutan. jangan lupa masing-masing membawa anjing pemburu”

Seluruh warga menyetujuinya dengan suara briuk siu (serempak). Prebekel Desa yakin bahwa dengan kegiatan ini Pan Balang Tamak bisa dihukum (didenda), karena Pan Balang Tamak tidak punya anjing pemburu.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali seluruh warga desa berkumpul di wantilan desa dan bergegas berangkat kehutan, kecuali Pan Balang Tamak saja yang belum hadir.

Lewat tengah hari sebagian warga desa sudah kembali dari hutan. pada saat itulah Pan Balang Tamak baru berangkat ke hutan sambil nyangkil (menggendong) seekor cicing kacang (anjing kampung di bali) bengil (kurus). Pan Balang Tamak berpapasan dengan sebagian warga yang mulai pulang itu, dan dia pun meneruskan perjalanan tanpa harus malu kepada yang lainnya. Pan Balang Tamak begeming!

Setelah sampai di hutan, Pan Balang Tamak mencampakkan cicing kacang bengil-nya di rumpun bambu berduri. tentu saja anjing kurus itu meraung kesakitan.

“Hai lihatlah..” seru Pan Balang Tamak kepada warga desa yang bertahan di hutan. “Kuluk (anjing) saya berusaha menyergap seekor celeng alas (babi hutan) yang sangat besar. Karena kalah besar, kuluk saya terpental karena diseruduk celeng alas”

Warga lainnya hanya terbengong-bengong menyaksikan ulah Pan Balang Tamak itu. Namun satu hal, warga yang lain dan perangkat desa tidak mampu membantahnya. Yang tersisa rasa dongkol, hanya sampai disitu.

PAN BALANG TAMAK TIDAK IKUT KEGIATAN

Pada suatu ketika, kesinoman banjar (orang yang bertugas membantu kelian), menyampaikan pengumuman ke rumah-rumah warga banjar (door to door), bahwa:

“Pada hari minggu (redite) disaat matahari baru terbit, krama banjar berumpul di wantilan (balai panggung tempat menyelenggarakan hiburan atau kegiatan desa lainnya) yang letaknya di depan pura desa, untuk melakukan bersih-bersih dalam rangka persiapan piodalan, dengan membawa arit (sabit). Bagi krama yang tidak hadir dikenakan denda 10 gobang (1 rupiah)”

Mendengar pengumuman tersebut, kembali Pan Balang Tamak berpikir, bagaimana caranya mangkir dari kegiatan tersebut, dikarenakan dia tidak memiliki arit. Setelah berpikir sejenak, maka ide liciknya terlintas setelah melihat anjingnya berak di belakang rumahnya, teringatlah dia kalau istrinya sedang membuat jaje abug iwel (jajan khas bali berwarna hitam, yang terbuat dari ketan hitam atau istilah balinya Injin).

Oleh Pan Balang Tamak, jajan itu dibagi-bagi dan dibentuk mirip seperti kotoran (tai) anjing.

Saat malam menjelang, Pan Balang Tamak pergi ke wantilan jaba pura desa untuk menaruh jaje abug iwel yang dibentuk serupa tahi anjing, tidak lupa dia mencipratkan air di sekeliling jaje Bali tersebut dan di beberapa tiang bangunan wantilan. Setelahnya, ia pulang untuk tidur hingga esok hari.

Para Krama yang sudah bersiap dengan peralatan mereka terkejut saat wantilan desa ada banyak air berserakan dan di pojok wantilan terdapat tahi anjing. Di saat seperti itu Pan Balang Tamak yang datang dengan gagah berani tanpa membawa peralatan segera memainkan perannya. Hal ini membuat para Krama lainnya terkejut.

“Mengapa kamu tidak membawa peralatan, Pan?” “Maaf, Jero, saya memang tidak membawa peralatan. Tapi, saya punya penawaran untuk kalian semua. Jika saya membersihkan tahi anjing ini, saya merasa tidak perlu membayar denda dan atas jasa itu, saya meminta bayaran 5 gobang. Bagaimana?” tukas Pan Balang Tamak.

Para Krama setuju dengan tawaran yang diajukan Pan Balang Tamak. Tapi, namanya saja orang licik, ia belum puas dengan semua itu. Ia menantang para Krama yang ada di situ untuk memakan tahi anjing yang berserakan.

“Oiya, sebelum melakukannya, saya punya penawaran lain untuk kalian. Barangsiapa salah satu dari kalian atau semuanya sekaligus berani memakan kotoran anjing ini semuanya, maka akan saya beri uang 10 gobang. Bagaimana?” Tantangan itu dianggap suatu hal yang gila yang ditawarkan oleh Pan Balang Tamak. Sehingga, mereka semua hanya tertawa geli dan menganggap Pan Balang sudah gila.

“Lakukan saja sendiri, masing-masing dari kami akan membayarmu sebesar 5 gobang dan kamu boleh tidak ikut kegiatan ini, jika kamu sanggup menghabiskan tahi tersebut!” Pan tersenyum mendengar perintah itu. Sudah diduganya mereka akan berkata seperti. Maka, Pan Balang pun menghabiskan kotoran anjing jadi-jadian itu. Dan ia pun mendapat lima gobang dari masing-masing orang yang hadir di sana. Kenalah para Krama dengan tipu daya Pan Balang Tamak.

RAJA (PEMERINTAH) TERSINGGUNG AKIBAT ULAH PAN BALANG TAMAK Cerita kecurangan Pan Balang Tamak dalam bermasyarakat terdengar sampai di telinga Anake Agung (raja kepala pemerintahan kala itu). Dan membuat sang raja panas hati. Seketika itu saja Sang Raja mengutus Sang Bendesa Adat (tetua desa), Kelian dan perangkatnya untuk sangkep (rapat, berembug) dan menyusun strategi untuk menyingkirkan Pan Balang Tamak. Terdapatlah ide dari raja yaitu dengan meracuni Sang Pan Balang Tamak pada pesta istana.

Singkat cerita Sang Pan Balang Tamak beserta perangkat banjar diundang makan ke istana Anake Agung. Disana makanan terlezat di sejagat Bali dihidangkan membuat Sang Pan Balang Tamak kelaparan dan bernafsu. Maka dimulailah santap makan. Setelah selesai makan dan bercakap-cakap dengan raja, baru Sang Pan Balang Tamak menyadari ada yang ganjil kenapa saya diundang makan pada hari yang tidak ada special. Ternyata setelah dipikir kemungkinan saya diracun. Setelah selesai makan dan santap saji, maka Sang Pan Balang Tamak pun berpamitan pulang. Sesampai dirumah, Sang Pan Balang Tamak berpesan pada istrinya :

“Istriku,,, aku tidak lama lagi akan meninggal karena diracun di istana. Aku mohon setelah aku meninggal tolong mayatku jangan dikubur dulu, cukup dimandikan dan dirias dengan kain putih seperti busana pemangku yang serba putih lengkap dengan genta serta sekar setaman seperti halnya hendak mapuja siwasewana, dan taruh aku di bale dangin (rumah adat yang berada di sisi timur) dalam posisi duduk bersila dan diatasku tolong diikat ‘tabuan simbar’ (lebah hitam). Kemudian setelah satu hari dan menjelang sore tempatkan aku dalam peti dan taruh di gedong bale daja (bagunan bali yang berada di sisi utara, biasanya digunakan sebagai tempat menyimpan harta benda keluarga). Dan pada malam itu tolong jangan kamu bangun atau berkeliaran dirumah baik didalam maupun halaman”.

Demikianlah hal yang diucapakan Pan Balang Tamak kepada istrinya. Dan ternyata sesaat kemudian Sang Pan Balang Tamak perutnya sakit dan meninggal seketika.

Mulailah amanat sang suami dijalankan oleh istrinya.

Keesokan harinya krama banjar tersentak kaget kenapa Sang Pan Balang Tamak tidak meninggal juga dan malah menjadi suci dengan mengucapakan ‘Weda Mantram’ lengkap dengan banten dan perlengkapan pengastawa. Padahal jika dilihat seksama ucapan Weda Mantram tersebut hanyalah bunyi sayap ‘tabuan simbar’ yang digantung diatas kepalanya.

Melihat hal itu, kelian banjar segera melapor pada Anake Agung bahwa Pan Balang Tamak masih hidup. Mendengar laporan tersebut membuat sang raja kaget, dan berucap :

“Kenapa dia masih hidup padahal ‘cetik’ (racun) yang aku campurkan dalam makanannya adalah yang paling hebat???”. Tanpa pikir panjang sang baginda raja mencoba racunnya sendiri, dan apa daya ternyata seketika itu juga meninggal akibat rasa penasarannya yang kurang ‘wiweka’ (sikap hati-hati dan mawas diri). Kontan kematian Sang Raja menyebar kepelosok Bali akibat cetiknya sendiri. Inilah tipu daya Sang Pan Balang Tamak meskipun sudah meninggal masih bisa membalaskan dendamnya kepada sang raja secara tidak langsung.

Kembali kerumah Pan Balang Tamak, setelah hari menjelang sore mayatnya dipindahkan dari bale dangin ke peti oleh istrinya dan ditaruh di gedong. Malam harinya, rumah Pan Balang Tamak disatroni oleh dua maling. Mereka mengendap-ngendap menuju gedong Pan Balang Tamak. Disana dlihatlah peti besar dan maling itu berkata :

“Wahh… besar sekali peti ini, mungkin ini peti harta karun Pan Balang Tamak mari kita angkut!!!” Bergegaslah para maling untuk membawa peti itu. Dengan tergopoh-gopoh para kedua maling itu kaget kenapa kok peti ini berat sekali?

Mungkin isinya banyak potongan emas batangan dan uang gobang itu pikir mereka. Tanpa berfikir lagi disikatlah peti tersebut dan sampai di depan Pura Bale Agung (Pura Desa Adat) mereka berhenti.

“Kok ada bau busuk ya?” Tanya salah satu maling ke temannya. ”Aku tak tahu mungkin ada bangkai ayam mungkin”. “Disini saja kita buka peti ini, tak mungkin ada orang semalam ini ke Pura yang gelap seperti ini dan hasilnya kita bagi dua”. Sahut maling kesalah satu temannya.

Karena masih takut ada yang lewat, maka peti pun dibawa sampai ke jaba tengah pura Bale Agung. Setelah sampai di halaman Pura Bale Agung mereka kemudian membuka peti tersebut dan dengan sontak kedua maling tersebut berteriak :

“…….mayatnya…….!!!” Seketika itu juga para maling lari terbirit-birit ketakutan dan dibiarkanlah peti itu tertutup lagi dan ditinggalkan tanpa sengaja oleh para maling tersbut. Keesokan paginya yang cerah di Pura Bale Agung datanglah sang pemangku pengempon Pura Puseh dan Desa tersebut untuk melakukan ‘penyapuhan’ (pembersihan halaman pura) dan ‘surya sewana’ (pemujaan bagi para pendeta Hindu di pagi hari yang ditujukan kepada Dewa Surya).

Setelah sampai di jeroan (halaman) Pura, sang pemangku kaget karena ada peti besar di depan pelingih Bale Agung Pura Desa. Sontak sang pemangku berteriak

“Ida Betara Turun Kabeh”!!!! (Sang Dewa/Tuhan Turun Ke Bumi).

Kemudian sang pemangku melapor ke kelian banjar, seketika itu juga seluruh krama desa tersebut berduyun-duyun ke Pura Bale Agung untuk melakukan persembahyangan. Sampai disana para krama menutup hidung karena areal Pura dipenuhi dengan bau busuk. Sambil menutup hidung para krama dan pemangku melakukan pengastawa panca sembah. Selesai melakukan panca sembah sampai ‘nunas’ (minta anugerah) ‘tirtha’ (air suci). Kemudian dibukalah peti tersebut apa isinya. Dan semua kaget karena isi peti adalah mayat Pan Balang Tamak yang tiada lain adalah salah satu krama dari mereka yang ‘medaya corah’ (licik) semasa hidupnya hingga matipun masih bisa mengelabui masyarakat banjar dan desa. Atas usul pemangku ke perangkat Desa sebaiknya mayatnya dikubur saja. Seketika hari itu juga mayatnya dikubur.

Karena itu, untuk mengingat kejadian tersebut, lokasi ditemukan peti mayat Pan Balang Tamak dibuatkan bangunan yang kemudian dikenal sebagai pelinggih Balang Tamak.

PESAN YANG TERSIRAT DARI SATUA PAN BALANG TAMAK INI

Kekuasaan pada dasarnya adalah sebuah amanat, tugas atau kepercayaan. Hanya orang-orang yang terpilih yang layak mendapatkan kekuasaan. Kekuasaan bukan untuk disalahgunakan, melainkan untuk dijalankan dengan adil, penuh empati. ketika kekuasaan itu disalah gunakan, terlebih dimanfaatkan sebagai alat untuk berbuat sewenang-wenang, pasti akan ada perlawanan terhadapnya. Pasti akan muncul seseorang atau sekelompok orang yang akan mengkritisi tindak-tanduk sang penguasa tadi.

Di Bali, Pan Balang Tamak dianggap sebagai pahlawan rakyat kecil karena ia berani melawan kekuasaan golongan feodal yang sering menindas mereka.

Satwa Pan Balang Tamak ini mengambarkan bahwa dalam ketertekanan, ada muncul seseorang yang mampu “mementahkan” dalil-dalil penguasa yang tidak valid. Pan Balang Tamak muncul sebagai sosok yang mewakili rakyat kecil yang menyuarakan ketidakadilan. Sosok Pan Balang Tamak adalah sosok yang mesti dibutuhkan, tetapi kenyataannya kerap menjadi tidak populer bahkan dijauhi. Meskipun demikian, Pan Balang Tamak telah mengajarkan dan memberi contoh bahwa penguasa tidak selalu benar, atau harus menang sendiri. Kritik, terutama yang konstruktif, harus menempatkan sebagai sesuatu yang menyehatkan, bukan meracuni. seorang pemimpin harus bisa mengayomi dan menyelami masyarakat yang dipimpinnya. Kita harus sadar bahwa sebagai manusia kita mempunyai kekurangan dan tentu saja punya kelebihan.