Orang Bali Kontraproduktif

Pasca pitra yadnya, mulai dari ngaringkes, ngaben, mamukur sampai ngalingihang, tak sedikit pada masyarakat kita melakukan kebiasaan bertanya kepada mereka yang diyakini pintar. Tujuannya cuma satu, memgetahui bagaimana keadaan Jiwa saudaranya yang telah diupacarai, adakah telah sampai pada tujuan? adakah kekurangan yang masih memerlukan penggenapan? Sampai pada titik ini, betapa kebiasaan ini menyiratkan bahwa kasih sayang manusia bahkan tak mampu dibatasi oleh ruang dan waktu (kalau tak hendak disebut sebagai kemelekatan).

Tatkala memperoleh informasi dari yang diyakini pintar, sulit bagi kebanyakan kita untuk tidak mempercayainya. Bila kekurangan sesuatu misalnya, sanak keluarga akan segera berupaya menggenapi. Bahkan tak jarang, upacara yang sama dilakukan untuk kedua kalinya bila itu memang diperlukan. Pada titik ini, betapa masyarakat kita sedemikian tinggi menaruh kepercayaan kepada mereka yang dianggap pintar.

Ketika ini semakin sering terjadi, lebih-lebih kian banyak saja berlangsung kasus serupa, muncul lantas pertanyaan mendasar, adakah manusia Bali memang lebih percaya kepada mereka yang dikatakan pintar dibanding percaya kepada mereka para Sulinggih yang konon sudah menguasai pengetahuan hidup serta mati? Bila kita memang lebih percaya terhadap mereka yang dinyatakan pintar, menghindari adanya kontra produktif, lebih-lebih dalam himpitan ekonomi yang lumayan sulit, bukankah sebaiknya segala tanggung jawab upacara diserahkan saja kepada mereka yang dianggap pintar itu? Yang artinya, Sulinggih tak diberikan lagi ruang untuk "muput" segala bentuk yadnya, lebih-lebih pitra yadnya.

Namun sebaliknya, bila kita masih meyakini kesucian dan tingkat capaian Sulinggih, bukankah menjadi kelucuan bila setelah yadnya digelar, kita malah kesana kemari bertanya kepada mereka yang dianggap pintar? Ada baiknya kita mulai tegas dengan keyakinan sendiri dengan tidak serampangan mengambil tindakan yang ujung-ujungnya malah menimbulkan kerancuan pola pikir. Bertanya tentu saja boleh, namun ketika cara kita bertanya keliru, tentu hanya kekeliruan jalan yang akan tersisa.