Kain putih dan kuning atau yang lazimnya disebut wastra (pakaian) putih-kuning oleh umat Hindu di Bali, selain digunakan sebagai pakaian sembahyang, biasanya digunakan untuk menghias sejumlah palinggih. Wastra putih-kuning tersebut umumnya mendominasi warna lainnya. Apakah sebenarnya makna warna putih-kuning tersebut?
Dihimpun dari berbagai sumber, banyak pandangan tentang wastra putih-kuning. Ada yang mengatakan, warna putih merupakan simbol kesucian yang bersumber dari ajaran Siwa, sedangkan warna kuning merupakan simbol kebijaksanaan yang bersumber dari ajaran Buddha. Sebagaimana diketahui, Siwa-Buddha merupakan ajaran besar yang sempat berjaya di nusantara beberapa abad silam. Bahkan, Mpu Tantular dalam kitab Sutasoma menuliskan ‘Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa’ yang diterjemahkan menjadi ‘Berbeda tapi tetap satu, tidak ada kebenaran yang mendua’.
Pandangan lain menyatakan bahwa warna putih merupakan simbol dari purusha atau unsur kejiwaan, sedangkan warna kuning adalah simbol pradhana, yakni unsur kebendaan. Dua unsur inilah yang menyebabkan manusia bisa hidup di dunia. Tanpa salah satunya, manusia dan mahluk hidup lainnya tak akan bisa hidup di dunia material ini alias mati. Oleh karena itu, ketika keduanya bertemu, maka terciptalah kehidupan di dunia.
Jika dikaitkan lebih jauh, warna putih dan kuning juga dimiliki oleh janur yang notabene merupakan salah satu bahan pembuatan upakara di Bali. Misalnya dalam pembuatan canang, umumnya membutuhkan janur sebagai salah satu bahannya. Bila diperhatikan, janur ternyata terdiri dari warna putih dan kuning. Adapun warna hijau di pinggiran daun biasanya disingkirkan saat proses pembuatan canang. Warna putih dan kuning juga ditemukan dalam segehan. Segehan putih-kuning biasanya dihaturkan di bagian bawah palinggih. Bahkan, tarian tertentu seperti rejang, penarinya diwajibkan menggunakan wastra putih-kuning.
Pemasangan wastra pada palinggih sesungguhnya merupakan salah satu wujud pemuliaan umat Hindu terhadap Tuhan. Wastra yang dipasang pada palinggih tersebut diibaratkan sebuah pakaian. Dengan demikian, perlakukan palinggih tersebut layaknya perlakukan kepada manusia yang sangat dihormati. Dengan demikian, ketika Tuhan, dewa-dewa, atau leluhur berstana di palinggih tersebut, diharapkan ‘berpenampilan’ indah.
Secara filosofi, memang banyak pandangan sebagai bentuk pemaknaan kain putih dan kuning. Salah satunya perpaduan warna putih dan kuning merupakan simbol kesejahteraan atau kebahagiaan dunia, sebagaimana sloka moksartham jagathita ya ca iti dharma.
Hal itu juga sejalan dengan berbagai pendapat yang ada. Di dalam konsep dewata nawasanga, putih merupakan simbol Dewa Iswara, penguasa arah timur. Sedangkan warna kuning merupakan simbol Dewa Mahadewa, penguasa arah barat. Keduanya pada hakikatnya adalah Siwa itu sendiri. Layaknya matahari yang terbit di timur dan tenggelam di barat, demikianlah kehidupan itu berlangsung.
#wastra #putihkuning