Sanggah Cucuk tidak dapat dipisahkan dengan Upacara Agama Hindu, Sanggah cucuk berasal dari kata sanggah yang berarti penyanggah/menopang, dan cucuk yang berarti pemucuk. Jadi dapat diartikan sanggah cucuk ini adalah pertemuan antara penyangga dan pemucuk, maka dari itu sanggah cucuk berbentuk segi tiga.
penyangga dan pemucuk : " sanggah cucuk ini adalah sebagai symbol stana Hyang Widhi dengan manifestasinya sebagai Shiva. sanggah yang berarti penyanggah/menopang, dan cucuk yang berarti pemucuk. Jadi dapat diartikan sanggah cucuk ini adalah pertemuan antara penyangga dan pemucuk, maka dari itu sanggah cucuk berbentuk segi tiga.,disebut sanggah cucuk karena mengandung arti bahwa sanggah itu merupakan perwujudan dari perasaan manusia yakni sebagai “pemucuk” yang berarti pendahulu atau perintis jalan dalam kehidupan manusia. symbol kekuatan alam baik yang bersifat positif, maupun yang bersifat negative yang pada tujuannya untuk penyeimbang alam ini.
Adapun ketiga kekuatan itu adalah : Bhuta, Kala dan Dhurga. Satu tangkai sanggah cucuk yang ditancapkan ke tanah adalah sebagai symbol sikap mesuku tunggal dan memiliki sifat krodha (memurti), sehingga ketiga kekuatan tersebut di atas dapat mengganggu keseimbangan antara Bhuana Agung dan Bhuana Alit. Dengan terganggunya keseimbangan tersebut maka munculah gejala-gejala yang dirasakan baik itu yang bersifat positif dan negative yang akan mempengaruhi keseimbangan atau pola pikir manusia yang lazim disebut Bhucari.
Dari sinilah ketiga kekuatan tersebut mendapat sebutan Bhuta Bhucari, Kala Bhucari dan Durgha Bhucari, oleh karena itu perlu dinetralisir melalui pelaksanaan upacara bhuta yajna agar menjadi Bhuta Hita, Kala Hita dan Durgha Hita. Dengan demikian sanggah cucuk adalah sebagai symbol stananya Sang Hyang Ibu Perthivi atau perwujudan Dhurga dalam bentuk lain sebagai symbol penetralisir dari kekuatan Bhuta Bhucari, Kala Bhucari dan Durgha Bhucari.
Selain itu fungsi sanggah cucuk adalah sebagai upasaksi dari pelaksanaan ritual bhuta yadnya khususnya pecaruan.
Dalam kaitannya dengan tawur agung kesanga, sanggah cucuk ini dipakai sebagai salah satu sarana upasaksi yang pasang disamping lebuh atau sebelah pintu/kori masuk rumah. Sedikit pengetahuan tentang tawur agung kesanga, dapat dijelaskan bahwa tawur berasal dari kata nawur atau membayar utang. Lalu kepada siapa kita membayar utang? Kepada para bhuta kala yang mana utang kepada bhuta kala dalam Tri Rna termasuk dalam utang kepada Dewa Rna. Dari utang kepada bhuta inilah perlu dilaksanakannya bhuta yadnya yang tujuannya adalah agar energi-energi negatif dari para bhuta kala tidak mengganggu umat manusia di dunia ini. Selain itu juga fungsi tawur ini agar para bhuta kala disucikan agar bisa menyatu dengan sang hyang tunggal, maka dari itu pada mantram ngalukat bhuta disebutkan :
“Om lukat sira sang bhuta dengen masurupan sang kalika, lukat sang kalika masurupan ring bhatari durga, lukat bhatari durga masurupan ring bhatari uma, lukat bhatari uma masurupan ring bhatara guru, lukat bhatara guru masurupan ring sang hyang tunggal, lukat sang hyang tunggal masurupan ring sang hyang sangkaning paran, apan sang hyang sangkaning paran rat kabeh siddha mawali paripurna. Om siddhir astu tat astu ya namah swaha”
Dikatakan tawur agung kesanga karena dilaksanakan serentak di seluruh daerah dan juga pada tilem kesanga/tilem caitra adalah tilem yang paling gelap sehingga merupakan hari yang paling baik untuk melaksanakan bhuta yadnya.
Bagaimana pelaksanaan Upacara Tawur Agung Kesanga?
Untuk pelaksanaan upacara tawur agung kesanga di tingkat rumah dibagi menjadi tiga bagian sebagai haturan kepada Tri Mala Paksa, yaitu Bhuta Buchari, Kala Bhucari, dan Durgha Bhucari. Berikut penjelasannya :
- Di halaman Merajan Kamulan dihaturkan segehan agung cacahan 11 tanding atau yang lebih sederhana satu segehan berwarna 5 (arah timur putih, merah selatan, kuning barat, hitam utara, tengah warna brumbun) tetabuhan arak & brem ditujukan kepada Sang Bhuta Bhucari, mantramnya : “Ih Bhuta Bhucari, manusan nira angaturaken segehan, iki tadah saji sira segehan cacahan 11 tanding, madaging beras, jinah paketenganpinaka pamogpog maka kirang nira aja nyengkalen waduan sira among maka jiwa pramana waduan sira. Wus amangan anginum lah ta sira pamantukan ring karang nguni soang-soang”
- Di pekarangan rumah dihaturkan segehan manca warna 9 tanding berisikan daging ayam brumbun (ayam dengan bulu warna-warni), atau yang lebih sederhana 1 segehan berwarna 4 (arah timur putih, merah selatan, kuning barat, hitam utara), tetabuhan arak & brem, toya anyar ditujukan kepada Sang Kala Bhucari, mantramnya : “Ih kala Bhucari, manusan nira angaturaken segehan, iki tadah saji sira segehan manca warna 9 tanding, madaging beras, jinah paketenganpinaka pamogpog maka kirang nira, aja nyengkalen waduan sira among maka jiwa pramana waduan sira. Wus amangan anginum lah ta sira pamantuka ring karang nguni soang-soang”
- Di lebuh rumah atau pamedal karang dipasang sanggah cucuk di sebelah kanan. Pada sanggah cucuk tersebut diletakkan peras daksina, ajuman, banten pedanan, tumpeng ketan, panyeneng dan rerasmen. Pada sanggah cucuk tersebut digantungkan juga sujang (batang bambu kecil 2 biji masing-masing diisi arak & brem) Haturan di sanggah cucuk tersebut ditujukan kepada Sang Durgha Bhucari.
- Di sor (bawah) sanggah cucuk diletakkan segehan manca warna 9 tanding, berisi daging ayam brumbun, tetabuhan arak & brem ditujukan kepada Sang Kala Raja & Sang Bhuta Raja. Selain itu juga dihaturkan segehan cacah 108 (satus kutus) berisi jeroan mentah, segehan agung 1 tanding ditujukan kepada Sang Kala Bala & Sang Bhuta Bala. Atau lebih sederhana dihaturkan 1 segehan warna 9 sesuai dengan warga pangider dewata nawa sanga. Keempat Bhuta Kala yang dihaturkan segehan di bawah ini merupakan pengikut dari Bhatari Durgha. Mantramnya : “Ih kala Bhucari, manusan nira angaturaken segehan, iki tadah saji sira segehan, madaging beras, jinah paketengan pinaka pamogpog maka kirang nira, aja nyengkalen waduan sira among maka jiwa pramana waduan sira. Wus amangan anginum lah ta sira pamantuka ring karang nguni soang-soang”
Dalam melaksanakan tawur di atas, hendaknya nunas tirtha caru dan tirtha kahyangan tiga di masing-masing desa pakraman. Selain itu juga pelaksanaan tawur agung kesanga di tingkat rumah tangga, sebaiknya disesuaikan dengan kondisi desa pekraman/lingkungan sekitar.
Pesan terakhir, maknailah setiap upacara yang kita lakukan karena dengan begitu setiap yadnya demi yadnya kita lakukan akan mengubah tata cara kita berpikir, perkataan, dan perbuatan kita mengarah ke arah yang lebih baik. Disebutkan dalam Manava Dharma Sastra III.97
Nacyanti nawyah kawyani naranama wijanatam, bhasmi bhutesu wipresu mohad dattani datrbhih
Arti Bebas : Persembahan yang dilakukan tanpa diketahui maknanya adalah sia-sia, sama dengan mempersembahkan kebodohannya dan persembahan itu tak ada bedanya dengan segenggam abu.
Om loka samstha sukinoh bhavantu Om shanti shanti shanti om