Sita dan Bunga Ketaki
Romaharsana memberitahukan para pertapa yang sedang berkumpul untuk mendengarkan ceritanya tentang keberadaan Siwa, “Sangatlah mudah untuk menyenangkan hati Siwa” ujarnya. Akan tetapi saat memuja Siwa jangan dipersembahkan dengan bunga Ketaki atau bunga Cempaka.
“Kenapa, wahai Rsi yang bijaksana, apa yang salah dengan kedua bunga tersebut?” tanya para pertapa tersebut. “Akan kuberi tahu tentang hubungan bunga Ketaki dengan pemujaan Siwa” jawab Romaharsana. Ayahnya yang bernama Dasharata menyuruh Ramauntuk menghabiskan 14 tahun masa hidupnya untuk tinggal di hutan. Ramapun mengikuti permintaan ayahnya untuk tinggal di hutan bersama adiknya yang setia Lakshamana dan istrinya Sita. Ketiga orang tersebut memulai hidup mereka di tepi sungai Falgu. Berita tentang kematian Dasharata sampai juga ke telinga Rama, dikabarkan Dasharat meninggal karena ketiadaan Rama dan upacara pemakaman (Shraddha) akan dilangsungan segera.
Rama mengirim Lakshamana untuk pergi ke desa terdekat untuk mencari bahan-bahan yang dibutuhkan untuk dipersembahkan pada pemakaman ayahnya. Waktu berlalu namun Lakshamana tidak juga kembali. Rama akhirnya menyusul ke desa tersebut untuk mencari Lakshamana, akan tetapi Rama tidak juga kembali. hari sudah mulai siang dan upacara pemakaman tersebut akan dilangsungkan seblum siang. Dalam kegelisahan, Sita memutuskan untuk melaksankan upacara penghormatan terhadap kematian ayah Rama sendiri. Ia mulai membersihkan dirinya di sungai Falgu dan menyalakan lampu yang terbuat dari tanah. Ia mulai mempersembahkan persembahan (pinda) kepada leluhur sendirian.
Tiba-Tiba, ada suara yang terdengar. “Sita, kamu telah diberkati” jawab suara tersebut. kami telah senang melihat persembahanmu. alam keterjutannya, Sita melihat sesosok tangan tanpa badan melayang di udara dan mengambil persembahan tersebut.
“Siapakah gerangan kamu?”Tanya Sita kepada makhluk tersebut. “Aku lah roh mertuamu (ayahnya Rama)” jawab makhluk tersebut. Proses pemakaman telah berjalan dengan sukses dan aku telah menerima persembahanmu” “Tetapi Rama dan Lakshamana tidak akan mempercayaiku!” ujara Sita. “Mereka tidak akan percaya, sesuatu sosok tangan tanpa badan muncul dari udara dan mengambil persembahanku.” “Mereka pasti percaya” ujar sosok tersebut. “Kamu mempunyai empat saksi, pertama adalah sungai Falgu, kedua adalah sapi yang ada di sana, ketiga adalah api dan keempat adalah semak-semak Ketaki itu.
Rama dan Lakshamana akhirnya kembali “Masuk bahan-bahan ini dengan cepat, waktunya tinggal sedikit, kita harus menyelesaikan upacara pemakaman sebelum siang.” sita menceritakan apa yang telah ia alami kepada mereka, akan tetapi kedua orang itu tidak mempercayai kata-katanya. Mereka menertawakan Sita dan menuduhnya telah berbohong. Sita mulai memanggil keempat saksinya akan tetapi keempat-empat menyatakan tidak melihat apa-apa. Tanpa berdebat lagi, Sita memasak bahan-bahan yang dibawa Rama, setelah selesai Rama mulai mempersembahkan kepada leluhurnya.
Tiba-tiba terdengar suara dari langit, “kenapa kamu memanggilku lagi?”.”Sita telah menyenangkan kami dengan persembahannya!” “Aku tidak mempercayai hal tersebut” ujar Rama. Akhirnya Rama bertanya kepada Dewa Matahari tentang situasi ini. “Itu benar adanya anakku” munculah Dewa Matahari Surya dan membenarkan apa yang telah diucapkan oleh Sita. Rama dan Lakshamana menjadi malu karena telah tidak mempercayai kata-kata Sita dan mereka juga takjub dengan kebajikan Sita. Sita mulai mengutuk keempat saksi yang telah berbohong, sungai Falgu dikutuknya agar selanjutnya hanya mengalir di bawah tanah. Ia juga mengutuk Bunga Ketaki (pandanus odoratissimus) tidak akan diterima oleh Siwa sebagai persembahan. Ia mengutuk sapi agar mulutnya menjadi najis karena telah berbohong namun bagian belakang sapi selanjutnya akan menjadi suci. Akhirnya Sita mengutuk api agar memakan sesuatu dengan sembarangan. “Itulah alasannya kenapa Bunga Ketaki tidak pernah dipergunakan lagi untuk pemujaan Siwa.” Romaharsana menutup ceritanya.
Narada dan Bunga Cempaka
“Kenapa Bunga Cempaka tidak baik digunakan sebagai persembahan untuk Siwa”
Di daerah Gokarna adalah sebuah kuil pemujaan terhadap Siwa. Narada memutuskan untuk pergi ke sana dan mengunjungi kuil tersebut. Dalam perjalanNya, Ia melihat pohon Cempaka yang sedang berbunga dan berhenti untuk mengaguminya. Seorang Brahmana datang dan bermaksud untuk memetik bunga tersebut. Akan tetapi karena melihat Narada di sana, Brahmana tersebut mengurungkan niatnya dan berbalik arah. “Kemana kamu akan pergi, wahai Brahmana?” tanya Narada. Brahmana itu menjadi tidak enak hati dan mulai berbohong “Hamba pergi, untuk mengumpulkan sedekah untuk persembahan” Narada memasuki kuil, sementara itu sang brahmana mulai memetik bunga Cempaka tersebut dan menaruhnya di dalam keranjang yang ditutup dengan rapat. Narada berpapasan lagi dengan brahmana tersebut sekembalinya dari kuil. “Kemana kamu akan pergi sekarang?” tanyaNya kepada brahmana itu. Brahmana berbohong lagi, “hamba mau pulang ke rumah.” katanya. “Aku tidak dapat mengumpulkan sedekah hari ini.”
Narada curiga dengan gerak-gerik sang Brahmana dan pergi menuju pohon Cempaka. Narada bertanya kepada pohon tersebut “Apakah Brahmana tadi dapat memetik sebagian dari bungamu?” ‘Apa, Brahmana?” jawab sang pohon “Aku tidak tahu menahu tentang Brahmana yang anda maksud! tidak ada seorangpun yang memetik bungaku hari ini.”
Narada bergegas pergi ke kuil dan menemukan bunga Cempaka segar bertaburan di atas Lingga Siwa. Ada seorang umat yang sedang sembahyang di sana. Narada bertanya kepadanya “Apakah kamu tahu siapa yang menabur bunga Cempaka ini?” “Ya!” jawab umat tersebut. “Itu adalah brahmana yang jahat dan Ia memuja Siwa setiap hari dengan bunga Cempaka.” “berkat anugerah dari Siwa, seluruh perbuatan jahatnya mencuri kekayaan Raja tidak ketahuan. Ia juga senang menindas Brahmana yang lain.
Akhirnya Narada bertanya kepada Siwa “Kenapa anda membiarkan kejahatan Brahmana tersebut?”. “Aku Tidak bisa berbuat apa-apa.” jawab Siwa. “Aku tidak bisa melawan ketika seseorang memujaku dengan bunga Cempaka”
Tiba-tiba seorang brahmana wanita datang dengan berita duka. Suaminya menjadi lumpuh. mereka telah meminta uang kepada raja sehingga anak perempuan mereka dapat menikah. Mereka juga telah diberikan sapi oleh raja. Namun brahmana yang jahat mengklaim setengah dari sumbangan raja kepada mereka. Brahmana jahat tersebut mengaku hanya berkat pertolongannyalah sang raja menjadi baik hati dan mau menyumbang pada mereka. Uang telah diambil oleh brahmana tersebut, tapi bagaimana caranya membagi seekor sapi.
Akhirnya Narada memutuskan untuk berbuat sesuatu dengan pohon Cempaka dan brahmana yang jahat itu. terutama kepada pohon Cempaka yang telah berbohong. Narada mengutuk pohon Cempaka, agar bunganya tidak diterima sebagai persembahan bagi Siwa. Ia juga mengutuk brahmana tersebut agar telahir menjadi raksasha yang bernama Viradha. karena bhrahmana tersebut rajin memuja Siwa, maka kutukan tersebut diringankan, menjadi Viradha akan dibunuh oleh Rama dan terlahir kembali menjadi seorang Brahmana.
(Berlanjut ke Bagian 6 ...)