“Nini Nini, buin selae dina galungan. Mabuah apang nged… nged… nged.” Begitu ucapan I Gede Kawit sembari mengetokkan golok di tangan kanan pada pohon jambu yang berbunga. Dia memberi sedikit luka pada batang itu. Hal sama pada cempaka, belimbing, srikaya, kenanga, dan sejumlah tanaman lain di kebunnya pada saat perayaan tumpek wariga, Sabtu (20/03/2021).
“Nenek nenek, 25 hari lagi Galungan. Berbuahlah agar lebat… lebat… lebat…,” begitu makna kalimat berbahasa Bali yang selalu diucapkan pada perayaan ini. Hari itu ungkapan syukur kepada Tuhan atas kesuburan tanaman hingga tumbuh baik dan menghasilkan buah atau bunga lebat.
Sebelumnya saya pernah menulis penafsiran makna Tumpek Wariga berdasarkan apa yang saya alami dan rasakan. Tumpek wariga, juga disebut tumpek bubuh, tumpek uduh, tumpek pengatag, dirayakan umat Hindu setiap 210 hari sekali, atau 25 hari sebelum Hari Raya Galungan.
Sebagai ucap syukur, umat Hindu mempersembahkan sesaji buah dan bunga, serta bubur sumsum (terbuat dari tepung beras, ditaburi kelapa dan gula merah cair).
Kali ini saya akan menulis kembali tentang Tumpek wariga berdasarkan penuturan dari I Gusti Ngurah Sudiana (Ketua PHDI Bali).
Menurut I Gusti Ngurah Sudiana, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali. “Tumpek wariga merupakan upacara berkaitan dengan lingkungan, terutama melestarikan pohon. Doa supaya pohon berbuat lebat, berbunga, punya kualitas bagus. Kalau bisa buah bisa untuk Galungan.”
Galungan merupakan hari kemenangan dharma (kebaikan) melawan adharma (keburukan). Pada hari tumpek wariga, umat Hindu sembahyang menggunakan sarana buah dan bunga. Buah dan bunga identik dengan berbagai upacara umat Hindu. Usai persembahyangan, buah-buahan dikonsumsi.
Sebutan Nini dalam tumpek wariga ditujukan pada Tuhan dalam manifestasi sebagai Sang Hyang Sangkara, penguasa segala tumbuh tumbuhan. Agar memberikan anugerah kepada semua pala bungkah, pala gantung, pala rambat dan semua tumbuhan, supaya buah bisa cepat matang, dan bisa dipersembahkan saat Hari Galungan nanti.”
Tumpek wariga merupakan kearifan lokal dari para leluhur yang juga bisa berarti agar warga selalu menjaga lingkungan dengan cara menaman pohon terutama yang kita perlukan dam upakara atau upacara agama Hindu. Kalau umat Hindu tak rajin menanam pohon, tidak akan mendapatkan buah dari kebun sehingga keberlangsungan upacara tidak akan bisa berkelanjutan.