---- Kisah ini sangat merakyat di Bali. Saking saktinya, raja Mayadanawa menjadi lalim. Rakyat dilarang menghaturkan sesaji kehadapan dewa-dewa. “Akulah Dewa yang mesti disembah dan dihaturkan sesaji”. Demikian katanya, yang menyebabkan perhyangan menjadi “mangmung” sepi tak ada kegiatan upacara.
---- Singkat cerita, Betara Indra turun dari kayangan untuk menghentikan keangkuhan ini. Dalam pertempuran sengit dan memakan waktu yang cukup lama, akhirnya Mayadanawa dan patihnya I Kala Wong dapat ditumpas.
---- Kemenangan pasukan Batara Indra atas Mayadanawa dirayakan sebagai hari Galungan, bersaji kehadapan Kemimitan / Leluhur, Sang Kala, Betara, Dewa, dan Widhi. Demikian secara turun-temurun.
---- Setelah seribu tahun lebih Mayadanawa amor, peradaban manusia di bumi makin berumur. “Gumi wayah”, dunia sudah renta, pikiran mulai dikacaukan oleh maya. Halusinasi bersahabat karib dengan ambisi dan obsesi. Deklarasi diri sebagai “maharaja, ratu adil, utusan dan titisan Tuhan, bahkan sebagai Tuhan” kerap terdengar. Mabuk kuasa, gila hormat. Seakan roh Mayadanawa bangkit.
---- Situasi dimana naluri memilah dikaburkan oleh kekaguman dan kultus. Ilusi menipu logika. Kepatutan dilabrak demi predikat kemuliaan semu. Lentera wiweka padam diterpa angin kepongahan. Yang tersisa hanyalah jelaga hitam dalam kegelapan. Artinya bahwa ketidakpatutan dinyatakan sebagai kebenaran.
---- Maya adalah semu. Semu lahir dari ilusi. Ilusi pasti tak berisi. Mayadanawa adalah ilusi dalam kegelapan. Penempurnya adalah “wiweka galang apadang” cerah pikiran dalam batas-batas nalar yang dilandasi kepatutan atas tuntunan para Hyang.
---- Mari bersaji dan bersujud kehadapan Hyang Maha Acintya. Semoga mendapatkan “Galang” cerah pikiran di hari suci “Galungan”. Selamat merayakan. Rahayu.. Rahayu… Rahayu.