Penutupan sejumlah ashram, pengerahan massa dalam penyampaian pendapat, perang narasi di media sosial, sampai terbitnya surat keputusan bersama dari PHDI Bali dengan MDA yang secara tegas melarang aktifitas kelompok tertentu berlangsung disemua Desa Adat Bali, termasuk pernyataan lugas dari Gubernur Bali, mendukung sikap MDA dan PHDI Bali, boleh jadi menjadi pematik lahirnya pertanyaan, "Mengapa orang Bali kini tak toleran?"
Senada dengan pertanyaan menggugat di atas, pernyataan-pernyataan senada juga bermunculan, ada yang menyatakan orang Bali mirip katak dalam tempurung, orang Bali tak paham apa itu hindu, apalagi Weda, bahkah dengan berbagai sikap yang muncul di atas, orang Bali sekarang dilabeli sebagai KADRUN, kelompok garis keras pada jalan tetangga. Menyimak pertanyaan dan berbagai pernyataan di atas, pertanyaan mendasarnya kemudian kembali hadir, BENARKAH ORANG BALI KINI INTOLERAN? BENARKAH ORANG BALI TAK LAGI RAMAH, BAHKAN KEPADA SAUDARA SEPERJALANNYA?
Tiada asap tanpa berawal dari api. Seperti unggahan-unggahan saya sebelumnya, berdasar atas pengalaman sendiri, tindakan orang (hindu) Bali belakangan jelas merupakan reaksi atas akumulasi aksi-aksi yang diterima selama ini. Bagaimana kelompok-kelompok tertentu yang dilarang tersebut kerap mengolok-olok upacara maupun tattwa tradisional Bali, bagaimana kelompok tersebut menyebut orang Bali sebagai golongan mayawadi, bhuta kala dan sejenisnya, belum lagi mereka dengan leluasanya merubah secara sistematis teologi lewat buku ajar pada sekolah-sekolah. Dan tak terhitung gerakan-gerakan masif lainnya yang bila dibiarkan, justru mengantar Bali pada degradasi nilai-nilai spiritualitas.
Pembaca tentu masih ingat sosok Ibu Desak mualaf yang tempo lalu sempat viral di media sosial, tak terhitung berapa hujatan yang meluncur deras diarahkan kepada beliau, tak sedikit pula yang menarik kasus ini ke ranah hukum. Pertanyaannya kemudian, Bila anda bereaksi atas ujaran-ujaran yang dilontarkan oleh Ibu Desak, mengapa anda seakan anti terhadap gerakan orang Bali yang kini berusaha menjada eksistensi keyakinan, adat dan budayanya? Mengapa lantas anda menyebut intoleran kepada orang Bali yang melawan mereka yang menyebut sanggah kemulan sebagai sangkar burung, atau menyebut orang bali sebagai penyembah bhuta kala, menyatakan lontar di Bali bersifat tamasik, atau bahkan menyebut sosok tertentu sebagai Tuhan tertinggi sedangkan lainnya adalah tuhan pelayan? Sampai titik ini, bila anda masih tak mau memahami, atau mungkin pura-pura tak paham, jelas kita tahu di posisi mana anda sekarang.
Sedikit berbicara toleransi, tentunya bukan bermaksud jumawa, siapa saja, bahkan seluruh dunia sepertinya layak untuk belajar dari Bali. Bukan saja kepada mereka yang sejalan, bahkan kepada yang beda keyakinan, toleransi di Bali jelas bukan hisapan jempol. Di Bali dengan mudah bisa disaksikan bagaimana Pura berdiri sama tingginya dengan Masjid, Gereja, Wihara, dan lainnya. Di Bali pula kita bisa menyaksikan sholat jumat dijaga oleh pecalang, ibadah gereja pun kegiatan keagamaan lainnya dibantu oleh warga adat. Namun bila kini yang katanya mengaku sedarah malah menyerang saudaranya dengan narasi-narasi buruk, merubah secara masif teologi orang Bali, dimana kelirunya bila reaksi penolakan bahkan pelarangan dikumandangkan oleh orang Bali?
Dan satu catatan lain yang boleh jadi merupakan kejumawaan, apapun yang diwariskan oleh tetua Bali, baik filsafat, etika maupun tata caranya, dalam pandangan sempit saya, ini semua nyaris sempurna. Sempurna sebab semua capaian personal, semua tingkatan pemahaman memperoleh ruang untuk bertumbuh. Yang memilih jalan bhakti dipersilahkan, demikian juga bagi para jnanin, kamin dan yogi, semua bebas bertumbuh tanpa merasa khawatir bila jalannya akan dihalangi. Persoalannya kemudian, bila muncul satu kelompok merasa paling benar, merasa paling mengerti tentang Weda, kemudian menyerang pilihan jalan saudara lainnya, tidakkah ini sebentuk kewajaran bila tindakan-tindakan kelompok ini harus dihentikan?
Mari pergunakan sedikit kewarasan.