Cerita Men Brayut

Dalam gaguritan Brayut diceritakan keluarga Brayut adalah seorang penganut Budha. Di saat perayaan Galungan Pan Brayut membuat berbagai bentuk makanan olahan daging babi untuk dipersembahkan sebagai sesaji. Sementara istrinya masih tertidur lelap karena kelelahan mengurusi anaknya yang berjumlah 18 termasuk yang masih dalam kandun­ gan. Berbagai polah anak-anaknya yang membuat si ibu menjadi sangat terkuras tenaganya sehingga tidak sempat membantu suaminya menyiapkan upacara.

Ketika terbangun dari tidumya si ibu langsung ke dapur untuk makan berbagai jenis makanan yang tadinya sudah dipersembahkan sebagai sesaji. Berbagai jenis olahan daging dimakannya dengan lahap, tanpa mempedulikan anak-anaknya yang menangis.

Tiba-tiba suaminya datang dan memarahinya. Terjadi perdebatan antara keduanya terkait banyaknya anak-anak yang lahir. Si suami menyalahkan istrinya, sedangkan si istri membela diri dengan menyatakan bahwa anak-anak mereka lahir akibat si suami tidak mampu mengendalikan nafsu birahinya. Setiap ada kesempatan si suami selalu mengajak istrinya untuk melakukan hubun­gan seks.

Selanjutnya dikisahkan Brayut mulai belajar ilmu ketuhanan pada seorang Guru bijak bemama Pangeran Jembong yang sangat menguasai ilmu tentang ajaran agama Budha. Setelah mendapatkan banyak pelajaran Pan Brayut kemudian melakukan tapa semadi di pohon kepuh besar yang bagian bawahnya berlubang di sebuah kuburan yang angker. Atas karunia Tuhan akhimya ilmu Pan Brayut disempumakan.

Ringkas cerita setelah anak-anaknya dewasa dan menikah, Pan Brayut dan Men Brayut akhirnya memutuskan untuk meninggalkan anak dan menantunya untuk pergi mengasingkan diri dengan membuat sebuah pasraman. Sebuah pesta besar dibuat oleh anak-anaknya, berbagai makanan olahan daging disajikan dalam pesta tersebut, dan tak ketinggalan berbagai jenis minuman berupa tuak, arak, berem. Setelah pesta usai Pan Brayut dan istri diantar anak-anak dan warga menuju tempat yang telah dipersiapkan untuk melanjutkan hidup­nya sebagai penekun kerohanian.

PENGARUH TANTRAYANA, HINDU INDIA KE INDONESIA (BALI) Muncullah berbagai pandangan para ahli yang menyatakan tentang peran budaya lokal khususnya di kepulauan Indonesia dalam menerima pengaruh Hindu India yang disebutnya dengan istilah local genius. seperti halnya Wales menyatakan bahwa local genius ini bersifat sentral, karena merupakan kekua­tan yang mampu bertahan terhadap unsur-unsur yang datang dari luar dan yang mampu pula berkembang untuk masa-masa mendatang. Sementara itu Bosch dalam menganalisis tentang local genius lebih menitik beratkan perhatiannya pada peran aktor pelaku penerima kebudayaan itu. Oleh karena itu, masuknya unsur India sebaiknya dianggap sebagai zat penyubur yang menumbuhkan agama Hindu Indonesia yang tetap memperlihatkan kekhasannya (Bosch,1983:7).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa local genius ini, baik budaya maupun aktor lokal memang bersifat sentral dalam hubungannya dengan perse­baran Hinduisme di Indonesia. Hilangnya atau musnahnya local genius, berarti pula memudarnya kepribadian suatu masyarakat, sedangkan kuatnya local genius untuk bertahan dan berkembang menunjukkan pula kepribadian masyarakat.

Masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia menyebabkan terjadinya proses kontestasi antara bentuk-bentuk kepercayaan Indonesia dengan agama Hindu yang datang dari India. Proses inter­aksi terjadi secara akulturatif, dimana unsur-unsur asing diolah ke dalam kebudayaan lokal tanpa hilangnya kepribadian dasar kebudayaan lokal. Pandangan-pandangan ini meng­indikasikan bahwa kebudayaan Indonesia (Bali) ketika terjadinya proses akulturasi dengan kebu­dayaan India (Hindu) telah berada dalam posisi yang cukup kuat sehingga terjadilah proses dialektis dan tidak terjadi dominasi (Utama,2005:42).

Masuknya pengaruh Hindu ke Bali tidak terjadi dalam kurun waktu tertentu, tidak hanya datang langsung dari India, namun juga dari Jawa. Mitos yang berkembang dalam masyarakat Bali menyebutkan bahwa upaya-upaya menghindujawakan masyarakat Bali yang dilakukan oleh tokoh-tokoh agama dari Jawa seperti Markandeya, Kuturan, dan juga Dang Hyang Dwijendra menyebabkan terjadinya kontestasi keagamaan pada masyarakat Bali.

Markandeya dipandang sebagai seorang Rsi yang pertama kali berusaha menanamkan pengaruh Hindu Jawa di Bali melalui dua kali missi yang dilakukannya dengan membawa ratusan orang dari Jawa ke Bali, meskipun kisah ini masih sangat berbau mitos tetapi jelas bahwa langkah-langkah yang dilakukan merangsang terjadinya tranformasi agama di Bali (Ginarsa,1987).

Kisah perjalanan tokoh-tokoh agama ini di Bali dalam upaya menye­barkan ajaran agama Hindu, sangat diyakini oleh beberapa kalangan di Bali meskipun bukti-bukti artefak belum ditemukan. Penelusuran masa lalu menggunakan cerita atau mitos kiranya masih dimungkinkan (Berg,1985:3).

Menurut Sartono Kartodirdjo salah seorang sejarawan Indonesia (dalam Susanto dkk (eds), 2003:148-149) bahwa kelemahan penulisan sejarah selama ini karena seringkali hanya menghandalkan sumber-sumber dokumen atau arsip (artefact), belum banyak meng­ gunakan sumber mentifact (fakta mental) maupun sumber socifact (fakta sosial). Fakta mental yang dimaksud dalam hal ini dianggap dekat dengan ingatan (memory) sosial kemasyarakatan yang diteliti. Generalisasi fakta mental masyarakat biasanya terdiri atas ide, gagasan, pandangan, orien­ tasi nilai, mitos dan segala macam struktur kesadaran dalam masyarakat.

Masuknya pengaruh Hindu ke Bali, juga bukan berasal dari suatu mazab tersendiri, namun bersum­ber dari berbagai mazab atau sekte. Penelitian yang pemah dilakukan Goris menunjukkan bahwa paling tidak di Bali pemah berkembang 9 sekte yaitu Siwa-Siddhanta, Pasupata, Bhairawa, Wesnawa, Boddha atau Sogata, Brahmana, Rsi, Sora, dan Ganapatya (Goris, 1974: 12). Meskipun data tentang eksistensi dari masing-masing sekte itu masih sangat minim, tapi dapat disimpulkan bahwa pergulatan keagamaan pada masyarakat Bali sejak zaman pemerintahan raja-raja Bali Kuno sudah sangat tinggi. Proses itu berlangsung terus dan bahkan tidak tertutup kemungkinan telah terjadi konflik-konflik antarsekte sehingga mengharuskan Mpu Kuturan seorang rohaniwan dari Jawa Timur yang menduduki jabatan penting dalam masa pemerintahan Raja Marakata (anak Raja Dharma Udayana) melakukan langkah-langkah untuk menata kehidupan keagamaan melalui konsep tata ruang pada tingkat desa dengan menetapkan konsep Kahyangan Tiga sebagai tempat pemujaan Tri Murti (Pemda Bali,1982/1983:143).

Meskipun keakuratan data yang dikemukakan ini masih sangat mungkin untuk diperdebatkan, tetapi paling tidak hal ini memberikan indikasi bahwa diferensiasi sistem keyakinan yang berkembang dalam masyarakat Bali saat itu telah membuat gerah pihak penguasa sehingga mengambil langkah-langkah pengaturan sistem kepercayaan masyarakat melalui indoktrinasi sistem keyakinan Hindu Jawa.

Salah satu mazab yang pemah berkembang di Bali yang pengaruhnya hingga saat ini masih sangat kuat dirasakan adalah mazab Tantrayana (Siwa Tantra dan Budha Tantra). Mazab ini diperkirakan berkem­bang di India antara 300-1200 Masehi. Tantrayana sangat terkenal dengan ajaran Panca Ma, yaitu: (1) Matsya, makan ikan; (2) Madya, minum minuman keras; (3) Mamsa, makan daging; (4) Mudra, gerakan-gerakan tertentu; (5) Maituna, hubungan seks, sebagai media pemujaan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan kekuatan, kekuasaan dan kesaktian (pengetahuan) dari Dewi Durga / Parwati sebagai Shakti Siwa (Phalgunadi, 2006:34).

Tokoh-tokoh yang cukup dikenal sebagai penganut ajaran ini antara lain Adityawarman di Sumatra, Kerta Negara di Jawa Timur, Kebo Parud atau Kebo Edan di Bali. Tantrayana sangat berpengaruh di Bali, sehingga dengan demikian aspek-aspek ajarannya sangat signifikan dalam mewamai ajaran agama Hindu di Bali seperti: penggunaan candi sebagai tempat pemujaan Dewi Durga, pemujaan terhadap unsur Shakti dari Dewa seperti Dewi Uma, Laksmi, Sri dan sebagainya.

Dasar-dasar ajaran Tantrayana yang memposisikan pemujaan terhadap Shakti sebagai hal yang sangat penting, telah ditemukan jauh sebelum pengaruh Hindu berkembang di India. Temuan-temuan yang dihasilkan dari penggalian di daerah Mahenjodaro dan Harrapa antara lain area terracotta yang meng­gambarkan tubuh wanita dengan pinggang ramping, pinggul dan buah dada yang penuh sebagai gamba­ran wanita yang subur, telah mengantarkan para ahli untuk berasumsi bahwa orang-orang Dravida sebagai pendukung kebudayaan ini lebih menguta­makan pemujaan terhadap Dewi (Shakti). Disamping itu ditemukan juga area laki-laki bermuka tiga dalam posisi duduk bersila (sikap meditasi) dengan penis dalam keadaan ereksi (Majumdar, 1998; Mantra, 2006).

Sikap ini mengingatkan pada sikap meditasi dalam ajaran Yoga. Bila memang demikian keadaannya kiranya bisa dikatakan bahwa ajaran Yoga yang berkembang belakangan di India berasal dari akar tradisi bangsa Dravida. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila dalam Tantrayana dikenal juga proses untuk mencapai siddhi melalui aktivitas gerak kundalini dari mula­daracakra sampai sahasraracakra sebagai langkah-langkah untuk penyatuan Shiva dengan Shakti. Temuan kedua area tersebut mengingatkan pada tradisi megalitik di Indonesia berupa patung­ patung laki-laki dan perempuan dengan alat kelamin yang digambarkan secara natural, berfungsi sebagai penolak bala (Sutaba,dkk.,2007).

Berangkat dari catatan tersebut di atas rupanya ajaran Tantrayana yang masuk ke Bali telah menga­ lami proses lokalisasi mengingat benih-benih ajaran yang sejenis telah berkembang di Bali. Perlu dicatat pula bahwa posisi tawar sistem keyakinan masyarakat Bali berada dalam posisi yang eukup kuat sehingga memungkinkan terjadinya lokalisasi ajaran Hindu khususnya Tantrayana di Bali.

Lokalisasi bila meminjam batasan yang diberikan oleh Niels Mulder (1999) yaitu inisiatif dan sumbangan masyarakat lokal sebagai jawaban dan penanggungjawab atas hasil-hasil pertemuan budaya. Dengan kata lain, budaya yang menerima pengaruh dari luarlah yang menyerap dan menyatakan kembali unsur-unsur asing dengan eara menempa unsur-unsur asing itu sesuai dengan pandangan hidup. Dalam proses lokalisasi, unsur­ unsur asing perlu menemukan akar-akar lokal, atau eabang asli daerah tersebut, dimana unsur-unsur asing itu dapat dicangkokkan. Baru kemudian, melalui peresapan oleh getah budaya asli itu, cang­kokan itu akan berkembang dan berbuah (Mulder,1999:5). Sementara itu Nordholt (2006) mendefinisikan lokalisasi sebagai proses aktif untuk mengadopsi dan memberikan makna baru terhadap konsep-konsep dari India.

Lokalisasi sebuah sistem keyakinan menuntut adanya kemampuan dari aspek lokalitas untuk melakukan tindakan akomodatif, akulturatif, dan resistentif terhadap pengaruh luar dalam hal sistem keyakinan yang datang dari India khususnya Tantrisme. Menurut pandangan Fie (2003) Tantra adalah sistem keyakinan asli masyarakat India yang kemudian menyebar ke Nepal, Tibet, China, Mon­golia, Jepang dan Indonesia.

Menurut Fie, dalam Tantra terdapat dua aspek penting yaitu, pertama menyangkut teori penciptaan yang menyatakan bahwa semesta ini tanpa awal dan tanpa akhir karena merupakan perwujudan dari energi suci Sang Kreator; dan yang kedua adalah menyangkut gerakan-gerakan serta ritual yang mampu menga­rahkan manusia menuju energi suci Sang Kreator di bawah bimbingan seorang Guru.

Sementara itu di Bali sendiri sebelum masuknya pengaruh Hindu menunjukkan bahwa sistem keyakinan yang berkembang dalam masyarakat sudah berada dalam posisi yang cukup tinggi, sehingga memungkinkan terjadinya lokalisasi ajaran-ajaran yang datang mendekat. Bukti-bukti yang menun­jukkan bahwa kebudayaan serta sistem keyakinan masyarakat Bali sudah mencapai tingkat yang cukup tinggi ketika proses lokalisasi itu terjadi antara lain sebagai berikut; 1) Kepercayaan tentang gunung dan laut sebagai alam roh; 2) Kepereayaan bahwa alat vital memiliki kekuatan magis; 3) Adanya kepercayaan bahwa setelah mati, ada kehidupan lain dan akan menjelma kembali; 4) Adanya kepercayaan bahwa organ-organ tubuh tertentu terutama penis dan vagina memiliki kekuatan sebagai penolak bala; 5) Adanya kepercayaan terhadap roh nenek moyang atau leluhur yang dapat dimintai pertolongan (Sutaba,1980:30-32; Pemda Bali, 1985 / 1986:52-53; Ardana, 1986:75-76).

Adanya kepercayaan bahwa organ seks memiliki kekuatan sakti dapat dilihat pada area-area akeologi yang ditemukan di pura Dalem Celuk Buman dan di Pura Besakih Keramas. Penampilan kelamin sebenarnya dipengaruhi oleh kepercayaan masyarakat megalitik Indonesia pada waktu itu, bahwa bagian­ bagian tertentu dari tubuh manusia mempunyai kekuatan gaib yang amat besar, yaitu mata, lidah dan alat kelamin, yang dapat menolak bahaya dan dapat juga memberikan keselamatan dan kesejahteraan kepada masyarakat.

Kepercayaan ini berkembang berkelanjutan hingga masuk dan berkembangnya pengaruh Hindu dan Buddha secara meluas di Indonesia. Sebagai sontoh dapat disebutkan ialah sebuah phalus besar dan sebuah vagina ysng berpasangan dengan phalus yang dipa­hatkan di lantai pintu masuk candi Sukuh yang dimaksudkan sebagai penangkal kekuatan jahat yang akan merusak kesucian candi. Temuan sejenis juga ditemukan di candi Ceto, di pura Pusering Jagat Pejeng, berupa sebuah phalus dan vagina dalam sebuah bangunan suci, yang sampai sekarang dipercaya akan memberikan anak kepada pasangan yang belum mempunyai keturunan (Sutaba, 2007). Di Desa Tenganan Pagringsingan terdapat juga sebuah phalus yang masih berfungsi sakral disebut Pura Kaki Dukun, yang diyakini sebagai tempat untuk memohon anak dan kesejahteraan masyarakat. Yang menarik adalah bahwa sebagian besar pura milik desa Tenganan Pagringsingan berupa bangunan-bangunan megali­tik adalah bukti bahwa dahulu kala pengaruh tradisi megalitik di desa ini sangat kuat, dan berlanjut hingga saat ini.

UNSUR-UNSUR AJARAN TANTRA DALAM CERITA BRAYUT

Tantrayana berkembang luas di India, Nepal, Tibet, Mongolia, China, dan Indonesia. Demikian luasnya perkembangan ajaran Tantrayana ini bahkan dalam eatatan para peneliti terdapat 64 sekte dari 3 aliran besar dalam Tantrayana.

Menurut Tantra, ada tiga wilayah yang masing-masing disebut Visnukranta, Rathakranta, dan Asvakranta (kadang-kadang disebut Gajakranta) di mana Tantra berbeda ditetapkan. Menurut Saktimangala Tantra, Visnukranta terbentang dari Gunung Vindhya sampai Chattala (Chitaggong), termasuk Bengal; Rathakranta dari tempat yang sama ke Malacina, termasuk Nepal; dan Asvakranta dari gunung yang sama ke “samudra luas”, tampaknya termasuk seluruh India. Mahasiddhasara Tantra, setuju dengan ini untuk Visnukranta dan Rathakranta, tetapi membuat Asvakranta membentang dari Sungai Karatoya (di Kabupaten Dinajpur) ke Jawa.

Tantrayana memiliki peran penting dalam pengimplementasian ajaran filsafat Yoga sehingga kombinasi antara praktik Tantra dan filsafat Yoga memberi pengaruh besar terhadap sistem kepercayaan yang berkembang di India serta beberapa Negara lainnya.

Tantra telah membuat sistem Yoga Patanjali dengan mudah dapat dipraktekkan, dan menggabungkannya dengan ritual Tantrik dan ketaatan seremonial (Karmakanda); Itulah alasan mengapa sistem Sadhana Tantrik diadopsi oleh banyak sekte agama di India. Jika teori bahwa Tantra dibawa ke India dari Kasdim atau Sakadvipa – benar, maka dapat disimpulkan bahwa Tantra tersebut diturunkan dari Kasdim ke Eropa. Tantra dapat ditemukan di semua lapisan agama Buddha; Tantrik Sadhana adalah manifest dalam Konfusianisme; dan Sintoisme hanyalah nama lain dari aliran Tantrik. Banyak sejarawan mengakui bahwa penyembahan Shakti, atau Tantrik Sadhana, yang lazim di Mesir sejak zaman kuno, menyebar ke Fenisia dan Yunani. Akibatnya kita dapat menganggap bahwa pengaruh Tantra dirasakan dalam agama Kristen primitif (Avalon, 1960).

Suatu yang sangat esensial yang dimiliki oleh ajaran Tantra adalah bahwa Tantra mengutamakan pemujaan terhadap Sakti atau Dewi. Hal ini diungkapkan dalam beberapa sloka dalam ajaran Tantrayana.

Dalam Saktamala Candrika dikatakan:

“Brahma adalah Shakti, Shiva adalah Shakti, Visnu juga adalah Shakti, dan Vasava adalah Shakti. Shakti adalah akar dari banyak Dewa lainnya. Tanpa Shakti tidak ada yang dapat mempertahankan keberadaan pribadinya. Engkau yang memiliki pikiran yang tinggi, oleh karena itu, mengetahui bahwa Shakti adalah yang terbesar dari semuanya. ” (Avalon, 1960).

Ajaran penting lainnya tentang Tantrayana adalah penguasaan pengetahuan tentang Tuhan serta implementasinya dalam kehidupan. Menurut pandangan Tantra, kebebasan abadi (moksha) tidak akan pemah dicapai oleh seseorang melalui japa, mantra, dan upacara homa, jika tanpa dilandasi oleh pengetahuan dan pemahaman mendalam tentang Brahman yang berada dalam dirinya sendiri ,seperti yang diungkapkan pada kitab Mahanirvana Tantra.

Pembebasan tidak datang dari japa, homa, atau seratus puasa; manusia menjadi terbebaskan oleh tepi pengetahuan bahwa ia sendiri adalah Brahman (XIL 115).

Pembebasan akhir dicapai dengan pengetahuan bahwa Atma (Jiwa) adalah saksi, adalah Kebenaran, adalah omni hadir, adalah satu, bebas dari semua gangguan diri dan bukan diri, yang tertinggi, dan, engkau tinggal di dalam tubuh, tidak ada di dalam tubuh (XIL116).

Mereka yang dalam ketidaktahuan mereka, percaya bahwa Ishvara (hanya) dalam gambar yang terbuat dari tanah liat, atau batu, atau logam, atau kayu, hanya mengganggu diri mereka sendiri dengan tapas mereka. Mereka tidak pernah bisa mencapai pembebasan tanpa pengetahuan (XIL119).

Baginya yang mengetahui bahwa semuanya adalah Brahman, tidak ada dosa atau kebajikan, tidak ada surga maupun kelahiran di masa depan. Tidak ada yang bisa direnungkan, tidak ada yang bermeditasi (XII, 126).

Pentingnya ilmu pengetahuan secara umum serta pengetahuan ketuhanan secara khusus dalam Tantrayana dapat diketahui dari tanggungjawab seorang sakta dalam memberikan pendidikan dan pengetahuan kepada anak-anaknya.

Seorang ayah harus membelai dan mengasuh anak-anaknya sampai tahun keempat, dan daripada sampai usia enam belas tahun mereka harus mempelajari tugas-tugas mereka (sloka 45). Sampai tahun kedua puluh mereka harus tetap terlibat dalam tugas-tugas rumah tangga, dan sejak saat itu, mempertimbangkan mereka sebagai sederajat, dia harus selalu menunjukkan kasih sayang kepada mereka (sloka 46) .Demikian pula seorang anak perempuan harus dihargai dan dididik dengan sangat hati-hati, dan kemudian diberikan uang dan permata kepada seorang suami yang bijaksana (sloka 47).

Konsep ini rupanya yang menjadi rujukan kitab Niti Sastra di Bali. Namun demikian dalam perkembangannya terdapat pandangan keliru tentang Tantrayana yang identik dengan seks bebas atau hubungan seks yang berlebihan. Tentu kurang bijaksana jika dikatakan bahwa Tantrayana adalah ajaran yang melegalkan hubungan seksual secara bebas sehingga dipandang merendahkan martabat perempuan.

Tantra sangat menghormati perempuan dan sama sekali tidak berpandangan bahwa perempuan adalah pemuas seksual sebagaimana pandangan yang keliru tentang maithuna. Tantrayana sangat keras dalam mengatur persoalan hubungan antara laki-laki dengan perempuan yang bukan istrinya.Hal ini dapat dibaca dalam kitab Mahanirvana Tantra berikut ini.

Maithuna selain dengan perumah tangga sendiri, istri dikutuk. Dan ini tidak hanya dalam arti literal, tetapi yang dikenal sebagai Ashtanga (delapan kali lipat) maithuna, Smaranam (memikirkannya), kirthanam (membicarakannya), keli (bermain dengan wanita), prekshanam ( memandang wanita), guhy abhasanam (berbicara secara pribadi dengan wanita), sangkalpa (keinginan atau ketetapan hati untuk maithuna), adhyavasaya (tekad terhadapnya), kriyanishpati (pencapaian aktual dari tindakan seksual). Singkatnya, pashu (dan kecuali untuk tujuan ritual mereka yang bukan pashu) harus, dalam kata-kata Shak takramiya, hindari maithuna, percakapan tentang subjek, dan perkumpulan wanita (maithunam tatkathalapang tadgoshthing parivarjjatet). Bahkan dalam kasus istri perumah tangga sendiri kelanjutan perkawinan dilarang. Keilahian dalam diri wanita, yang dinyatakan oleh Tantra secara khusus, juga diakui dalam ajaran Vaidik biasa, sebagaimana jelas harus menjadi kasus yang diberikan dasar bersama dengan semua sisa Shastra. Wanita tidak hanya dianggap sebagai objek kenikmatan, tetapi sebagai dewi rumah (grihadevata). Seorang pria harus menganggap sebagai istri hanya wanita yang telah menikah dengannya menurut bentuk Brahma atau Shaiva. Semua wanita lainnya adalah istri orang lain (IX, 46)

Pemujaan dengan Latasadhana (hubungan seks atau maithuna) bahkan hanya boleh dilakukan lima hari setelah wanita datang bulan (menstruasi).

Ajaran Tantrayana sebenamya memiliki aturan yang sangat ketat dalam penerapan konsep Panca Ma atau Panca Tattwa. Penggunaan daging, biji-bijian, minuman keras, mudra (gerak-gerak tertentu), serta maithuna (hubungan seks) hanya boleh dilakukan dalam proses ritual di bawah bimb­ingan Guru. Hubungan seks hanya boleh dilakukan dengan pasangan yang sah.

Penerapan ajaran panca tattwa sangat tergantung pada jenjang kemampuan para pengikut Tantrayana. Penerapan ajaran Pancat­ attwa sangat tergantung pada tujuan yang ingin dicapai, tetapi secara umum hal ini dimaksudkan sebagai upaya mencapai penyatuan dengan Tuhan. Ajaran panca tattwa ini ibaratkan terapi terhadap racun dengan menggunakan racun sebagai penetralisirnya.

Dari paparan tersebut di atas selanjutnya dicoba untuk menggali kandungan isi gaguritan Brayut terkait dengan ajaran Tantra. Unsur-unsur panca tattwa tampak jelas dalam gaguritan Brayut, seperti kutipan berikut.

“Ngogo calung ngalih uyah, suba ya suud masagi, mangungkab pane pangaron, di kumarange maisi, letlet sesate gunting, balung Ian dedeleg marus, iga sesate calon, !en kakuung jepit babi, ulan engkuk, songo anggon rarebasan “. (bait 20). Lalawuhe sube mara, kacang-kacang pencok kuping, balung pindang sambel iso, tuwak berem arak manis, madulur arak sari, lelehanga mawor madu, runtutin sasangan, tatawanan klupa suci, dodo! satuh, tan kocap ane len-lenan” (86 bait) Ne luh-luh merantaban, nampah angsa nunu kambing, bebek siape magorok, ada nyeduh mamut­ butin, ade ngibukang guling, be jarane tonden rawuh, manadak mapapyon, I Pamayun mama­ gonin, nampah penyu, aji nem bangsit limolas” (bait 99) Bait-bait gaguritan Brayut di atas ini pada intinya menyebutkan berbagai jenis makanan olahan daging yang dipersembahkan pada saat upacara dan perayaan atau pesta. Pada bait lainnya diceritakan bahwa keluarga Brayut memiliki kelakuan seks (maithuna) yang kuat sehingga selalu minta untuk melakukan hubungan seks pada istrinya seperti kutipan berikut. “Bas magawe san tuturan, kuwate maningeh munyi, wangkidina pisan pindo, yen kapisaga malali, teka twah mangembusin, tampar yen dapetang nunun, yen nira sedek di pawon, yen nire ngendihang api, tuah narungkuk, tong dusin buwung manyakan” (bait 39)

Sementara itu unsur religio magis Tantra tampak pada bait-bait berikut, menceritakan langkah-langkah Brayut mendapatkan pengetahuan sejati berupa pengetahuan ketuhanan dari seorang Guru.

” Suba tutug mapumahan, angkuhanga luh muani, bahan bagianyane katon, sangkannya tong ada imbih, manemu suka sugih, mas mirah salaka liyu, ento ne amah anggo, De Brayut luh muani, nganggo tutur, suba mamalikin lampah” (bait 57).

“Suba suud ngupadesa, manyuwang ka desa Kangin, kocap ring Pangeran Jembong, ka Geria Banjar Mamedi, tuah to Bodane sidi, paranakn­ nyane liu, tur malimpad-limpadan, anging tong ada nandingin, tuah iye ewer jam-jam ngendog pahitun­ gan” (bait 58).

“De Brayut duke ngayat, manunas bekele mati, mapang guruyaga bokor, dadar satake dijani, len nanampan abesik, kocap aji telung atus, ica Pangeran Jembong, panugrahan Sang uptai, sampun puput, mangliwatin titi gonggang”(bait 60)

“Anging katuduh ngahiang-hiang, bratane apanga luwih, samahitane jua anggo, buat Bodapaksane Jani, suba luwas mapamit, manakti di sema agung, sig kepuh magowok, tan ucap umah mamedi, pabi­ yahyuh, gowake masaliweran (bait 61)

“Kawuk-kawuk pagurekgak, matinggah ada ngulanting, manating limpa ngaglok, len mangesuk neltel ati, ade ngiberang kulit, babuwahan len papusuh, basing len jajaringan, mata ebol lan jariji, kakembungan, sig sig kepuhe pasulengkat” (bait 62)

Bait-bait gaguritan di atas menunjukkan upaya pendakian spiritual yang dilakukan Brayut dalam upaya mencapai kesempumaan hidup. Belajar ilmu kesempurnaan hidup pada seorang guru yang men­guasai ajaran Budha, serta mematangkan ilmunya dengan melakukan yoga semadhi di sebuah kuburan yang terdapat pohon kepuh berongga yang dikenal angker. Pada akhirnya Brayut menjalani hidup sebagai rohaniwan (menjadi Dukuh), setelah semua anak-anaknya dewasa.

Kutipan-kutipan bait gaguritan Brayut di atas menggambarkan tahapan-tahapan kehidupan Brayut. Diawali dengan kisah kehidupan Brayut saat berumah tangga yang penuh dengan dinamika (termasuk melakukan kewajiban sebagai suami istri atau maithuna), melaksanakan ritual dengan mem­ persembahkan berbagai olahan daging, minum­ minuman keras seperti arak, tuak dan berem. Selan­jutnya setelah kemakmuran hidup dicapainya, Brayut belajar pengetahuan tentang kesejatian hidup pada seorang Guru. Tahapan-tahapan kehidu­pan Brayut sangat erat kaitannya dengan salah satu ajaran Tantrayana yaitu Dharma, Artha, Kama dan Moksa yang lebih dikenal dengan istilah Catur Purusartha (Nila,1997).

Guru adalah unsur yang sangat penting dalam ajaran Tantrayana yang bertanggung jawab mem­bimbing murid-murid Tantra dalam melakukan sadhana (ritual). Brayut juga melakukan pertapaan di kuburan guna mendapatkan ilmu kelepasan. Kuburan adalah unsur penting dalam ajaran Tantra sebab kuburan di pandang sebagai sthana dari Shakti Shiva yaitu Durgha. Praktik­ praktik keagamaan untuk mendapatkan Sakti di Bali seperti proses pasupati rangda hingga saat ini masih berlangsung di Bali.

Berdasarkan argument di atas dapat dikatakan bahwa dalam Gaguritan Brayut menunjukkan kuat­ nya pengaruh ajaran Tantrayana. Masuknya ajaran Tantrayana ke Bali diperkirakan berasal dari Jawa. Hal ini kemungkinan terjadi pada masa pemerin­ tahan raja Kerta Negara yang memerintah di Singosari pada tahun 1268-1292. Kerta Negara menyerang Bali pada tahun 1284. Penyerangan terhadap Bali adalah untuk mewujudkan cita-cita membentuk cakrawalamandala, yaitu menguasai Nusantara. Raja Kerta Negara dikatakan sebagai penganut Tantra Bhairawa (Surasmi,2007).

PENINGGALAN PRASEJARAH DARI PENGARUH TANTRA DI BALI

Salah satu tinggalan purbakala yang menunjukkan kuatnya pengaruh Tantra Bhairawa di Bali adalah area Kebo Parud di Desa Pejeng Gianyar. Yang menarik perhatian adalah periode setelah penyeran­ gan raja Kerta Negara ke Bali yaitu bahwa ajaran Panca Makara yang menjadi identitas Tantrayana mengalami proses sublimasi di Bali. Hal ini dapat diindikasikan dari bentuk tinggalan purbakala yang tidak lagi menggambarkan phalus dan vagina dalam bentuk natural tetapi telah mengalami sublimasi dan stilisasi menjadi bentuk-bentuk lingga yoni yang semakin abstrak. Penggambaran lingga yoni sebagai simbol perkawinan kosmik antara purusa – prakerthi rupanya merupakan hasil lokalisasi paham yang datang dari India, yang kemudian melahirkan berbagai bentuk simbol yang menggam­barkan keduanya sebagai media untuk memohon kesuburan.

Untuk menelusuri lebih Ianjut tentang keberlanjutan pengaruh ajaran Tantra di Bali saat ini selain berupa benda-benda tinggalan purbakala, dapat pula diperhatikan pada berbagai bentuk aktivitas ritual maupun sarana yang digunakan dalam kegia­tan ritual tersebut.

Pada upacara Perang Ketupat di Desa Kapal Badung, jelas menggunakan sarana tipat dan bantal. Tipat adalah lambang vagina atau lambang keperempuanan, sedangkan bantal adalah lambang phalus atau penis sebagai simbol seks laki-laki. Pertemuan keduanya melalui aktivitas ritual berupa “perang” diharapkan akan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat Dalam upacara perkawinan di Bali selalu meng­gunakan tipat bantal sebagai sarana pokok dalam ritualnya. Hal ini tidak hanya melambangkan pertemuan mempelai laki-laki dengan mempelai perempuan, secara meluas bermakna sebagai “perkawinan” komunitas atau keluarga laki-laki dengan keluarga perempuan, sehingga muncullah istilah mawarang yang artinya sama-sama punya modal dalam terbentuknya keluarga barn dimaksud. Penggunaan simbol-simbol seks dalam ritual perkawinan bisa juga diamati dalam ritual perkaw­inan di desa Sesetan Denpasar melalui simbol Kala Badeg. Tradisi ritual med-medan di desa Sesetan Denpasar, dapat juga diartikan sebagai “perkawinan kosmik” dengan tujuan memperoleh kesejahteraan bersama. Bila diperhatikan sarana upacara di Bali akan selalu menemukan alat yang disebut caratan coblong. Sepasang keramik sebagai wadah air yang jika diamati lebih jauh rupanya merupakan pasan­ gan simbolik phalus dan vagina atau lambang purusha dan prakerthi. Demikian juga penggunaan porosan silih asih yang dibentuk dari dua buah daun sirih. Dalam bidang kesenian kita juga mengenal kend­ang lanang-wadon, dengan nada yang diatur sede­mikian rupa penggabungan keduanya menghasilkan nada-nada yang harmonis. Penggunaan daging, minuman tuak, arak, berem dalam aktivitas ritual di Bali rupanya merupakan keberlanjutan ajaran panca makara dalam Tantrayana. Tentu masih banyak lagi yang belum teramati pada kesempatan ini sehingga dibutuhkan penelitian yang lebih intensif tentang keberlanjutan ajaran Tantrayana di Bali. Adanya kepercayaan prasejarah mengenai kekuatan alam yang Maha Kuasa, lalu dihinduisasi­kan menjadi keyakinan terhadap Sang Hyang Widhi Wasa yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Kekuatan-kekuatan alam tertentu kemudian dihinduisasikan menjadi aspek-aspek kekuatan Sang Hyang Widhi menjadi kekuatan-kekuatan dewa­-dewi. Demikianlah kekuatan air dipersonifikan menjadi dewa Indra, kekuatan api dipersonifikasi­kan menjadi dewa Agni, dan kekuatan angin diper­sonifikan menjadi dewa Marutha. Pemujaan kekua­tan matahari sebagai Dewa Surya, lalu dihinduisasi­kan menjadi pemujaan Siwa. Adanya kepercayaan di zaman prasejarah tentang Jiva, dihinduisasikan menjadi keyakinan terhadap atman. Kepercayaan adanya Jiva ini dihubungkan dengan adanya tradisi pembuatan bangunan terras pyramid, menhir, dan tahta batu. Menhir adalah simbolisasi roh nenek moyang, kepala suku atau seorang tokoh masyarakat (phallus), sedangkan terras pyramid adalah symbol atau replica gunung sebagai bentuk ekspresif kepercayaan bahwa roh­-roh bertempat tinggal di gunung. Dalam agama Hindu di Bali kepercayaan akan adanya atman disamping stula sarira (badan jasad) pada diri seseorang. Ketika manusia meninggal dunia, atman itulah yang meninggalkan badan jasadnya. Agar atman itu menjadi suci dan bersatu dengan sumbemya yang semula yaitu Brahman, maka dibu­tuhkan adanya upacara seperti ngaben dan mamu­kur sehingga roh itu dipandang telah menjadi suci kembali sehingga ditempatkan di sanggah kemulan dan dipuja oleh sanak keluarganya. Kepercayaan kepada gunung sebagai alam roh berlanjut ketika masuknya pengaruh Hindu. Gunung sebagai alam roh kemudian dibuatkan replikanya berupa bangu­nan meru. Kata meru rupanya berasal dari sebutan gunung Mahameru. Kepercayaan mengenai kelahiran kembali diduga sudah dikenal di Bali sejak zaman megalitik berdasarkan atas penemuan-penemuan yang terse­bar luas di suluruh Bali. Pada umumnya mayat ditemukan dalam posisi dilipat, artinya kedua belah kakinya dalam posisi ditekuk sampai di depan perut dan kedua tangannya bersilang di depan dada, kepala agak merunduk dan miring ke samping. Hal ini melambangkan bahwa mereka telah kembali ke dalam kandungan dan nanti akan lahir kembali (Punarbawa). Sebuah sarkopagus yang ditemukan di Bali Barat atau di desa Ambyarsari, malahan diben­tuk menyerupai kelamin perempuan. Hal ini jelas melambangkan konsep kelahiran kembali. Kepercayaan setelah masuknya Hindu tetap bertahan. Dalam upacara di Bali hingga saat ini masih menggunakan kerbau sebagai sarananya seperti upacara titimamah, pakelem. Penggunaan kerbau dalam ritual besar di Bali kemungkinan berlatar belakang pada sistem keykinan pada masa praseja­rah. Pada zaman megalitik, kerbau memiliki kedudukan penting secara sosial ekonomi dan religious kultural bangsa Indonesia. Pada masa itu kepulauan Indonesia menjadi centrum van buffel­ cultus dimana penyembelihan kerbau dimaksudkan sebagai binatang kurban dalam upacara tertentu misalnya dalam upacara kematian. Selain dipan­dang sebagai binatang suci dalam ritual keagamaan, kerbau juga dipandang memiliki kekuatan magis yang sering dihubungkan dengan kultur nenek moyang dan upacara kemakmuran atau kesuburan. Bersamaan dengan itu didirikanlah bangunan­ bangunan megalitik yang dihubungkan dengan kultus nenek moyang seperti terdapat di kalangan penduduk pulau Nias, Flores, dan Sumba. Dengan demikian dalam alam kepercayaan Indonesia telah mulai tumbuh kembang suatu konsep kepercayaan bahwa kerbau adalah binatang suci, sebagai sumber kekuatan magis dan sekaligus pula sebagai memi­ liki kekuatan penolak terhadap gejala-gejala kekua­tan jahat. Kerbau juga dipandang sebagai kendaraan bagi arwah nenek moyang. Pada masa prasejarah berkembang pula sistem keyakinan yang bersifat dualism (bipartite system) dimana alam semesta ini dibagi atas dua hal yang saling berhubungan satu sama lainnya, misalnya dunia atas dan dunia bawah, laki-laki dan perempuan, dan lain sebagainya. Dalam sistem dualism ini kerbau dipandang sebagai symbol bumi, air dan Sistem keyakinan ini tetap bertahan dan berkembang terus setelah masuknya agama Hindu. Dalam bidang pengarcaan dapat juga diungkap­kan adanya unsur-unsur prasejarah. Patung-patung nenek moyang yang digunakan sebagai medium antara manusia dengan roh-roh dimasa praseja­rah, dapat dipandang sebagai dasar-dasar dalam membuat area-area perwujudan yang banyak dijumpai di Bali. Arca-area ini banyak tersimpan di pura Panerajon di puncak Bukit Panulisan Kintamani. Pembuatan area perwujudan rupa­nya tidak dikenal di India. Sementara itu tentang munculnya area-area dewa di Bali, tampaknya itu berang­kat dari konsep yang berbeda. Agama Hindu men­gakui keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki umat manusia dalam memahami eksistensi Tuhan (Hyang Widhi Wasa) dalam bentuknya yang abstrak, tanpa bentuk phisik nyata. Untuk menga­rahkan pikiran menuju Tuhan dan menjaga agar pikiran tetap teguh pada Tuhan pada saat-saat pere­nungan tentang Tuhan, suatu bentuk area atau symbol tertentu merupakan bantuan yang berharga. Pikiran yang belum kuat harus berangkat dari yang nyata menuju yang abstrak. Tuhan memang ada dimana-mana, namun demikian dalam kaitan dengan persembahyangan Tuhan digambar­kan seakan-akan berada dalam suatu objek tertentu. Dalam arsitektur bangunan-bangunan suci di Bali, unsur-unsur prasejarah masih tampak nyata. Bangunan-bangunan berundak yang terdapat di desa Penebel, Sembiran, dan Geigel dapat dikata­kan kelanjutan dari bangunan terras piramid dimasa prasejarah. Jika hal ini dihubungkan dengan struk­tur halaman pura di Bali, tampaknya masih menun­ jukkan hubungan yang signifikan. Hampir semua pura memiliki halaman yang bertingkat-tingkat. Pura Besakih yang terletak di kaki gunung agung memiliki tujuh tingkatan, demikian juga pura Kehen Bangli yang bertingkat lima. Terlepas dari konsep teologis dan filosofis adanya tingkatan­ tingkatan dalam bangunan pura menunjukkan adanya keberlanjutan tradisi bangunan terras pyra­mid dari masa prasejarah.