enter image description here

Bejumpa kembali bersama saya, Kawit. Setelah sekian lama vakum menulis, akhirnya saya bisa kembali menyempatkan diri untuk menuangkan beberapa lembar goresan tangan hasil pemikiran saya. Terima kasih telah berkenan meluangkan waktu membaca tulisan sederhana ini. Kali ini, saya ingin berbagi sedikit wacana seputar penjor—sebuah tradisi yang lekat dalam kehidupan kita, namun perlahan mulai bergeser maknanya.

Dulu, Membuat Penjor Adalah Momen Kebersamaan

Dulu, membuat penjor adalah momen penuh kebersamaan keluarga. Waktu yang diwarnai tawa, gotong royong, dan tentu saja—lebih hemat. Tapi, kenapa sekarang banyak orang lebih memilih membeli penjor jadi? Memang, praktis. Tapi, apakah dengan ini kita tanpa sadar kehilangan makna yang lebih dalam?

Fenomena Membeli Penjor Jadi: Praktis, Tapi Kurang Bermakna

Kehidupan di kota besar seperti Denpasar makin hari makin cepat. Kesibukan, sempitnya ruang terbuka, dan nilai kebersamaan yang semakin langka membuat tradisi membuat penjor berubah. Yang dulu adalah hasil kerja tangan keluarga, kini menjadi barang dagangan yang bisa dibeli di toko atau di pinggir jalan.

Apa yang sebenarnya terjadi di balik fenomena ini?

1. Perubahan Pola Hidup: Tradisi Bertumbuh, Tapi Waktu Makin Terbatas

Di tengah ritme hidup yang padat, terutama di perkotaan, membuat penjor sendiri bukan lagi prioritas. Waktu, tenaga, serta ruang untuk membuat penjor sering kali menjadi sesuatu yang sulit disediakan. Tak heran, pilihan membeli yang praktis terasa lebih menggoda.

Padahal, dulu penjor bukan sekadar hiasan. Ia adalah simbol persembahan, ketulusan, dan kebersamaan keluarga. Kini, penjor lebih sering dibeli dengan berbagai pilihan harga—dari yang sederhana hingga yang mewah, lengkap dengan layanan antar ke rumah. Praktis, memang. Tapi, apakah kita tak kehilangan sesuatu yang penting di dalamnya?

2. Hilangnya Transfer Pengetahuan: Dari Ajang Belajar Menjadi Sekadar Simbol

Membuat penjor dulunya adalah momen belajar. Orang tua mengajarkan anak-anaknya—bukan hanya soal teknik, tapi juga tentang makna di balik setiap anyaman dan susunan. Jika kini anak-anak tidak lagi terlibat, tidak lagi diajarkan membuat penjor, apakah tradisi ini akan tetap hidup di masa depan?

Kalau penjor hanya dipandang sebagai simbol, tanpa memahami prosesnya, tanpa mengalami kebersamaannya, akankah maknanya tetap sama?

3. Tradisi yang Semakin Praktis: Membeli atau Membuat, Mana yang Lebih Berarti?

Membeli penjor bukanlah kesalahan. Ini hanyalah cerminan dari perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat yang semakin pragmatis. Tapi kalau kita masih punya waktu, tenaga, dan kesempatan untuk membuat penjor bersama keluarga, kenapa tidak kita lakukan?

Bukankah makna persembahan itu justru lahir dari ketulusan, dari tangan-tangan yang bekerja dengan niat suci? Penjor yang sederhana namun dibuat sendiri jauh lebih bermakna dibandingkan penjor mewah yang dibeli hanya sebagai formalitas.

Jadi, Mana yang Lebih Bermakna? Membeli atau Membuat Sendiri Bersama Keluarga?

Tidak ada jawaban yang mutlak benar. Membeli penjor memang menawarkan kepraktisan, tetapi membuat penjor sendiri memberi sesuatu yang lebih: kehangatan, kebersamaan, dan rasa syukur yang terasa nyata.

Mari kita renungkan bersama. Apakah kita akan tetap melestarikan tradisi ini sebagai sebuah pengalaman hidup, ataukah membiarkannya sekadar menjadi simbol yang dibeli di pinggir jalan?

Apa pilihanmu? Membeli penjor atau membuat sendiri bersama keluarga?

Akhir Kata: Yuk, Kembali ke Akar

Setiap orang tentu punya pilihan. Mau beli penjor jadi atau buat sendiri, semuanya sah-sah saja. Tapi kalau ada sedikit waktu luang, kenapa nggak sekalian ajak keluarga bikin penjor bareng-bareng? Nggak perlu sempurna kok—yang penting rasa kebersamaannya itu yang nggak tergantikan.

Kadang, dalam ketawa kecil saat anyaman janur miring, atau dalam obrolan santai sambil mengikat bambu, justru di situlah makna sesungguhnya lahir. Bukan sekadar soal hasil akhirnya, tapi soal perjalanan kecil yang bikin hati hangat.

Semoga lewat tulisan ini, kita semua diingatkan untuk sesekali meluangkan waktu. Bukan buat menuntut kesempurnaan, tapi buat menghidupkan lagi nilai-nilai kecil yang mungkin mulai terlupakan.

Sampai ketemu lagi di tulisan-tulisan saya berikutnya. Tetap semangat, tetap membumi, dan jangan lupa: apa pun bentuknya, tradisi itu tetap hidup selama kita mau merawatnya. Om Shanti Shanti Shanti Om.