enter image description here

Belakangan ini, kita sering kali mendapati adanya ketidakwarasan dan ketidakwajaran dalam beragama. Ajaran agama yang seharusnya menjadi petunjuk hidup sering kali ditafsirkan secara sembarangan, bahkan cenderung ngawur, lalu dinyatakan sebagai kebenaran dari Tuhan. Dengan berapi-api, "sang agamawan" menyuarakan tafsiran ini, merasa paling benar dan menganggap ajaran mereka adalah satu-satunya yang sah.

Namun, apa yang sebenarnya terjadi?

Penafsiran Agama yang Dipengaruhi Ambisi dan Emosi

Penafsiran yang muncul tidak jarang didorong oleh ambisi pribadi dan emosi, penuh kepentingan tertentu. Hasilnya bukanlah pencerahan, melainkan pembodohan atas nama agama dan Tuhan. Tafsiran ini kemudian dilembagakan sebagai kebenaran yang diterima dalam agama, tanpa mempertimbangkan apakah hal tersebut sesuai dengan hakikat ajaran agama itu sendiri.

Kebenaran dalam Agama yang Relatif

Setiap agama seakan membawa tafsiran kebenarannya masing-masing. Dengan demikian, kebenaran dalam konteks agama menjadi sesuatu yang relatif dan tidak tunggal. Kebenaran versi satu agama seringkali bertolak belakang dengan versi agama lainnya, yang pada gilirannya menimbulkan potensi konflik antar penganut agama. Dalam situasi ini, muncul sentimen agama yang kuat, di mana masing-masing pihak merasa berkewajiban untuk membela kebenaran yang mereka anut.

Agama Sebagai Sumber Kedamaian, Bukan Konflik

Namun, agama seharusnya menjadi sumber kedamaian dan pengayoman. Agama semestinya tampil bijak, sejuk, dan damai, bukan sebagai pemicu konflik akibat fanatisme yang berlebihan. Sayangnya, saat ini agama justru menjadi ruang sempit bagi olah pikir dan olah rasa, dengan kentalnya nuansa materialisme dan marketing. Ada perlombaan untuk membesarkan agama, meluaskan jaringan, dan menambah pengikut, sementara ajaran tentang budi pekerti dan nilai-nilai hakiki kebaikan semakin terlupakan.

Agama yang Cenderung Rutinitas, Bukan Kualitas

Agama kini sering dipandang lebih sebagai sebuah rutinitas atau kuantitas yang harus dipenuhi, daripada kualitas dan kesungguhan dalam menjalankan ajaran agama tersebut. Bahkan, dalam banyak kasus, agama menjadi ajang kompetisi dan konversi, di mana persaingan antar penganut agama begitu kental. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Swami Vivekananda, seorang cendekiawan Hindu, yang menyatakan bahwa "meng-agama-kan orang yang sudah beragama" adalah sebuah fenomena yang tidak dapat dielakkan.

Agama dan Dharma: Dua Hal yang Berbeda

Pada akhirnya, agama mungkin tak lebih dari "agem" dan "pakem"—pegangan dan tata aturan yang membatasi. Ketika berbicara tentang agama, sering kali kita terjebak dalam sekat-sekat filosofi, etika, tata cara, dan rutinitas, yang menghalangi pemahaman lebih dalam. Namun, ada satu konsep yang bisa menjembatani sekat-sekat tersebut, yaitu dharma—kebenaran universal yang abadi.

Dharma Sebagai Kebenaran Universal

Dharma adalah kebenaran yang berlaku untuk siapa saja, di mana saja, dan kapan saja, yang disebut sebagai “sanatana”—kebenaran abadi dan sejati. Agama hanyalah satu sisi dari tafsiran ajaran dharma yang lebih luas dan semesta. Para bijak yang telah memahami kesejatian, tidak terjebak dalam ruang sempit agama, tetapi berada di lautan dharma yang lebih luas sebagai kesejatian yang tak terbantahkan.

Ketika agama menelurkan berbagai versi kebenaran, dharma hanya mengenal satu kebenaran universal. Dalam ajaran Mpu Tantular yang terdapat dalam Sutasoma, kita diajarkan bahwa "tan hana dharma mangrwa"—tak ada kebenaran yang kedua. Dharma memancarkan kebijaksanaan dan kedamaian universal, sementara agama sering kali melahirkan fanatisme yang sempit. Pada suatu waktu, sebuah agama bisa punah karena tafsir-tafsir yang ada sudah tidak relevan lagi dengan zaman.

Pengejawantahan Dharma dalam Budi Pekerti

Pengejawantahan dharma yang universal ini dapat dilihat dalam “budi pekerti”—tata pikir, tata ucap, dan tata laku yang humanis. Budi pekerti menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dalam kodrat sebagai ciptaan Tuhan. Dengan menyelaraskan kehidupan dengan semesta, budi pekerti melahirkan etika dan estetika, yang kemudian membentuk tradisi budaya adiluhung sebagai tuntunan menuju kesejatian dan kesejagatan.

Untuk memperkokoh dharma dalam agama, kita senantiasa diajarkan tentang tata titi budi pekerti. "Agama dharma" berlandaskan berbudi pekerti, yang pada gilirannya akan menuntun kita menuju jagadhita—kesejahteraan duniawi—dan menjadi jembatan menuju kemuliaan akhirat, yaitu moksah.

Kita Semua Masih Mencari Kebenaran

Namun, perlu diingat bahwa kita sejatinya tidak pernah benar-benar tahu kebenaran yang sesungguhnya. Kita hanya mengukur dengan "kewajaran" dan "kewarasan" menurut pandangan umum. Saya pun sebenarnya merasa (Kimud) -- malu bahwa saat ini saya sendiri belum sepenuhnya benar, belum berbudi, dan belum waras.

Ampura. Rahayu rahayu rahayu... Semoga kita selalu diberi petunjuk menuju kebenaran yang hakiki, dan semoga kita bisa kembali menemukan kedamaian dalam beragama.