Siwa Purana Bagian 14

Siwaratri Vrata

Siwaratri adalah sebuah tithi (suatu hari pada kalender lunar), hari di mana Brahma dan Wisnu melakukan pemujaan terhadap Siwa. Pada hari yang suci tersebut, hendaknya sebuah vrata ( adalah ritus keagamaan khusus) yang dilakukan. Sebuah vrata dilakukan pada malam Siwaratri (malam didedikasikan untuk Siwa) adalah sangat penting. Ini membawa punya (tabungan kebajikan) yang bersifat abadi. Ritualnya berupa begadang (tidak tidur seharian) dan memuja sebuah Lingga (simbol Siwa). Juga kadang-kadang bagi yang mampu, dilaksanakan puasa sehari semalam.

Dulu tersebutlah seorang pemburu bernamaRurudruha. Dia sama sekali bukanlah termasuk ke dalam golongan orang yang baik. Bahkan, ia sangat jahat dan kejam. Dia adalah seorang pemburu yang sering membunuh banyak hewan (rusa) dan dia juga seorang perampok sekaligus pencuri. Tentu saja, Rurudruha tahu apa-apa tentang Siwaratri vrata.

Tetapi pada suatu hari Siwaratri, Rurudruha memutuskan untuk berburu binatang karena orangtua, istri dan anak-anaknya merasa sangat lapar pada hari itu. Mereka meminta Rurudruha untuk pergi berburu dan mendapatkan daging supaya mereka dapat makan. Rurudruhapun pergi ke hutan untuk membunuh rusa, tapi tidak bisa menemukan binatngpun apapun pada saat itu. Hari pun berganti malam dansemakin tidak ada binatang buruan yang terlihat.

Rurudruha menemukan sebuah kolam air dan memutuskan untuk bermalam di sana, kebetulan tanpa Rurudruha ketahui ternyata terdapat sebuah Lingga Siwa di samping kolam tersebut. Pikirnya cepat atau lambat, beberapa binatang buas pasti akan muncul. Dia memutuskan untuk naik ke sebuah pohon bilvayang tumbuh di samping kolam air tersebut. Dan kalau-kalau ia merasa haus, ia juga mengisi wadah air dan meletakannya di sampingnya. Di sana bermalam untuk menunggu pagi. Tiba-tiba munculah seekor kelinci betina yang ingin minum di kolam itu, Rurudruha mengambil busur dan anak panahnya dan memanahnya. Ketika melakukannya, pohon terguncang dan beberapa daun bilva jatuh pada Lingga yang berada tepat di bawah pohon.

Daun Bilva merupakn persembahan yang suci untuk Siwa. Air juga menetes tumpah dari wadah air Rurudruha yang bocor, yang kebetulan juga jatuh tepat di Lingga tersebut. Rurudruha tentu saja tidak mengetahui hal ini. Tetapi kelinci betina tersebut melihat Rurudruha. “Jangan bunuh aku sekarang” kata kelinci betina itu. “Anak dan suami saya sedang menunggu di sarang kami”. “Biarkan aku pergi untuk mengucapkan perpisahan pada mereka dan ketika aku kembali, Anda dipersilahkan membunuhku. Rurudruha tidak ingin melepaskan kelinci betina itu untuk pergi. Apakah binatang itu akan kembali akan membiarkan dirinya untuk dibunuh? Tetapi kelinci betina itu telah bersumpah untuk kembali dan akhirnya Rurudruha membiarkannya pergi.

Setelah beberapa saat, kelinci betina yang lain muncul untuk minum air. Seperti sebelumnya, ketika Rurudruha akan memanah pohon bergoyang , daun bilva dan air jatuh di Lingga. Kelinci betina melihat para Rurudruha dan berkata, “Tunggu, sebelum kau membunuhku, ijinkan agar saya katakan selamat tinggal kepada suami dan anak-anak saya dulu.”Rurudruha menjadi enggan untuk membiarkan kelinci betina itu pergi. Tapi kelinci betina yang kedua jugamengambil sumpah bahwa ia akan kembali. Jadi Rurudruha memutuskan untuk menunggu.

Setelah kelinci betina pergi, seekor rusa muncul untuk minum air. Dan ketika Rurudruha mengangkat busur dan anak panahnya, air dan daun bilva jatuh lagi di Lingga. Rusa berkata, “Wahai sang pemburu, biarkan aku pergi sekarang. Aku akan datang kembali dan Anda bisa membunuh kemudian. Saya ingin mengatakan perpisahan kepada dua istri dan anak-anak saya.” Rusa juga mengangkat sumpah bahwa ia akan kembali dan Rurudruha membiarkannya pergi.

Setelah beberapa waktu berlalu, kedua kelinci betina dan seekor rusa datang kembali ke tempat itu. Masing-masing berkata, “Bunuhlah aku dan biarkan yang lain pergi, karena mereka harus tetap hidup untuk mengurus anak-anak mereka.” Bayi rusa juga ditemani orangtua dan berkata, “bunuh juga kami, kita tidak ingin tetap hidup ketika salah satu dari kami dibunuh.” Rurudruha begitu terkejut menyaksikan kejadian ini, akibat keterjutannya menyebabkan pohon bergetar lagi, daun Bilva dan air pun jatuh kembali di Lingga.

Siwa sekarang merasa kasihan meyaksikan kejadian tersebut dan menghapus semua pikiran jahat dari benak Rurudruha. Hal itu dilakukanNya agar Rurudruha terhindar dari perbuatan membunuh pada malam Siwaratri ini. Siwa sendiri muncul di hadapan Rurudruha dan berkata, “Mulai sekarang kamu adalahGuha, kamu akan sangat diberkati sampai Rama pun akan menjadi tamu Anda.” Cerita ini menunjukkan bahwa bahkan jika dilakukan secara tidak sadar, Siwaratri Vrata akanmemberikan punya (pahala) yang sangat besar dan bersifat abadi.

Vedanidhi

Di kota Avanti dulu hiduplah seorang Brahmana yang baik. Dia memiliki dua orang putra,Sunidhi dan Vedanidhi, Sunidhi bersifat dan Vedanidhi bersifat jahat. Raja Avanti sangat senang dengan Brahmana tersebut dan belaiaupun memberinyasebuah gelang emas sebagai hadiah. Brahmana itu membawanya pulang dan memberikannya kepada istrinya untuk menyimpan dengan aman. Vedanidhi menemukan lokasi penyimpanan gelang tersebut dan mencurinya. Vedanidhi lalu memberikannya kepada seorang gadis penari.

Kebetulan raja sedang menonton tarian dilakukan oleh gadis penari tersebut dan dia melihat gelang yang telah diberikannya pada Brahmana pada tangan gadis itu. Dia mengetahui dari gadis itu, bahwa gelang tersebut diberikan kepadanya oleh Vedanidhi. Sang Raja mengambil gelang tersebut dan memanggil sang Brahmana. “Apakah Anda ingat dengan gelang emas yang telah saya berikan ?” kata sang Raja. “Tolong kembalikan padaku? Aku membutuhkannya. ”

Brahmana bergegas pulang dan meminta istrinya gelang tersebut. Tapi tidak dapat ditemukannya dan mereka menyadari bahwa itu Vedanidhi yang telah mencurinya. Vedanidhi diusir dari rumah orang tuanya karena kesalahannya. Ia berkeliaran di jalanan dan meminta makanan kesana kemari dan memohon agar ia bisa makan. Suatu hari, ia tidak mendapatkan makanan sama sekali. Hari itu kebetulan Siwaratri. Tapi tidak diketahui oleh Vedanidhi. Dia melihat beberapa orang akan masuk ke candi Siwa dengan segala macam persembahan, termasuk makanan. Vedanidhi berpikir bahwa ia mungkin bisa mencuri dan makan makanan ini. Dia mengikuti umat tersebut ke kuil dan menunggu sampai mereka tertidur ketika melakukan ritual Siwaratri (begadang). Ketika mereka tertidur, Vedanidhi merangkak naik ke tempat di mana persembahan telah ditempatkan.

Persembahan ini berada tepat di depan Lingga. Suasana dalam kuil sangat gelap dan Vedanidhi tidak dapat melihat dengan jelas. Ia menyalakan sebuah lampu dan sinar lampu menyinari Lingga. Vedanidhi merobek secarik kain dari pakaiannya dan memasukkannya ke lampu sehingga bisa terbakar dengan baik, Linggapun tersinari dengan jelas. Api pun membesar membuat suasana kuil menjadi terang. Tetapi ketika hendak Vedanidhi mencuri makanan, para pemuja terbangun. Mereka meneriakinya pencuri, mengejarnya dan memanahnya. Panah ini mengenai Vedanidhi dan ia meninggal.

Utusan Yama tiba dan ingin mengambil Roh Vedanidhi ke neraka. Tapi Siwa menghentikannya dan tidak mengizinkan mereka membawa Vedanidhi untuk dibawa ke neraka.Vedanidhi telah berpuasa pada hari Siwaratri, ia tetap terjaga di malam hari dan ia telah menerangi (mempersembahkan api) pada Lingga. Ini adalah tindakan yang utama, bahkan jika mereka telah dilakukan tanpa sadar. Semua Dosa Vedanidhi akhirnya diampuni.

Chandrashekhara

Parvati pernah bertanya kepada Siwa, “Suamiku, katakan padaku, mengapa engkau mengenakan bulan sabit pada keningMu? Apa cerita di balik ini? Siwa pun menceritakan sebuah kisah.

Sebelumnya, Parvati telah lahir sebagai Sati, putri Daksa. Sebagai Sati, ia telah menikah untuk Siwa. Sejak Daksa menghina suaminya Siwa, Sati mengorbankan hidupnya. Ketika Sati meninggal, Siwa tidak lagi menemukan kesenangan pada apa pun. Dia mulai tinggal di hutan dan mulai melakukan tapasya. Begitulah kekuatan tapasyaNyasehingga setiap pohon atau pegunungan yang berdekatan dengan tempat di mana Siwa sedang bermeditasi terbakar menjadi abu. Kemanapun Siwa pergi peristiwa itu selalu terjadi, akhirnya bumipun mulai terbakar menjadi abu.

Para dewa sangat khawatir atas kejadian ini. Mereka pergi ke Brahma untuk mencari saran mengenai bagaimana bumi akan diselamatkan. Brahma berkata, “Mari kita ambil Dewa BulanChandra dan membuatNya sebagai hadiah bagi Siwa. Wajah Chandra yang begitu menyenangkan mungkin akan membuat Siwa merasa bahagia dan tenang. Dewa Chandra ditempatkan dalam panci berisi amrita(Minuman kehidupan abadi). Mereka juga punya satu

panci yang penuh racun. Dengan kedua panci tersebut mereka pergi ke Siwa dan menawarkan kepadaNya kedua panci tersebut sebagai hadiah.

Brahma berkata, ” Hormat hamba kepada Tuhan semesta alam, Para Dewa telah membawakan Anda dua buah pot yang berisi persembahan buat anda. Sudi kiraNya anda menerima persembahan mereka.” Siwa pertama menerima panci yang berisi amrita. Begitu ia melakukan hal ini, bulan sabit keluar dan harus tetap menempel di dahi Siwa. Kemudian Siwa menerima panci yang berisi racun dan menyentuhnya dengan jari tengahnya. Dia menyentuh tenggorokannya dengan jari dan tenggorokanNya seketika menjadi biru. Itulah alasan mengapa Siwa dikenal sebagai Nilakantha (tenggorokan biru). Dan karena bulan adalah seperti sebuah mahkota untuk Siwa. Siwa disebut Chandrashekhara. Karena melihat bulan, Siwa menjadi tenang.

Abu Pada Tubuh Siwa

Parvati berkata, “Aku mengerti tentang sejarah bulan pada dahiMu sekarang. Tapi kenapa kau selalu terdapat abu pada tubuh Anda? Apa alasan untuk itu? “Siwa menceritakan suatu kisah.

Dulu ada seorang Brahmana yang merupakan keturunan dari Maharsi Bhrigu. Brahmana ini memulai tapasya yang sangat sulit. Panas luar biasa di musim panas tidak berpengaruh kepadanya. Dia juga tidak terganggu oleh hujan pada musim hujan. Dia hanya tertarik pada kegiatan meditasinya. Ketika ia merasa lapar, ia menggunakan bantuan binatang, dengan jalan meminta beruang, rusa, singa-singa dan serigala untuk mengantarkannya beberapa buah. Binatang buas telah kehilangan semua rasa takut terhadap dia, mereka malah melayaninya. Lama-kelamaan, Brahmana itu pun berhenti makan buah juga. Dia hanya makan daun hijau. Dan oleh karena daun disebut Pama, Brahmana itupun kemudian dikenal sebagai Parnada.

Dia melakukan tapasya selama bertahun-tahun. Suatu hari, Parnada sedang memotong rumput dengan sabit dan secara tidak sengaja sabit itu terpeleset dan mengiris jari tengahnya. Parnada mendapati bahwa tidak ada darah yang keluar dari jarinya yang terluka. Keadaan itu membuatnya sangat senang dan kesombonngan mulai menghampirinya. Dia menyadari bahwa itu disebabkan oleh kenyataan bahwa ia telah hidup dari daun-daun hijau yang telah dikonsumsinya sepanjang waktu. Parnada mulai melompat dengan gembira dan berteriak-berteriak kegirangan.

Siwa memutuskan bahwa Parnada perlu diberi pelajaran. Dia menyamar sebagai seorang Brahmana dan muncul di hadapan Parnada. “Mengapa kau begitu bahagia?” tanya Siwa. “Tidakkah kamu bisa melihatnya ? jawab Parnada. “Tapasyaku telah berhasil dengan gemilang sehingga darahku menjadi seperti getah tanaman. “Tindakan semacam ini akan merusak buah dari semua tapasya,” kata Siwa. “Apa yang anda banggakan? Darah Anda hanya berubah menjadi getah tanaman. Apa yang terjadi ketika Anda membakar tanaman? Mereka menjadi abu!” “Aku sendiri telah melakukan begitu banyak tapasya sehingga darahKu telahmenjadi abu. Siwa mengiris jari tengahnya dan abu keluar lukaNya.. Parnada terkesan. Dia menyadari bahwa tak ada yang ia bisa banggakan lagi; ternyata ada pertapa yang jauh lebih besar daripadanya. Dia bertanya ” Siapakah anda wahai pertapa yang agung?” dan Siwa kemudian menunjukan wujud asli beliau kepada Parnada. Sejak hari itu, selalu ada abu di tubuh Siwa.

(Berlanjut ke Bagian 15 ...)