Sebuah pandangan yang sering terdengar adalah bahwa ajaran Hindu Bali adalah original atau "murni Bali." Perdebatan ini cukup menarik dan memunculkan banyak pertanyaan. Untuk itu, dalam artikel ini, saya akan mencoba menelaah lebih jauh mengenai asal-usul ajaran Hindu Bali, apakah memang benar murni berasal dari Bali ataukah ada pengaruh dari luar, khususnya dari Jawa, yang sangat besar dalam pembentukan agama Hindu Bali seperti yang kita kenal sekarang.
Beberapa Pertanyaan Kritis
Sebelum menarik kesimpulan terkait pernyataan bahwa Hindu Bali adalah "murni Bali," saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan penting yang perlu direnungkan lebih lanjut oleh mereka yang meyakini klaim tersebut:
Mpu Kuturan, yang diyakini sebagai pembawa ajaran dan peletak dasar Kahyangan Tiga di Bali, berasal dari mana?
Sapta Rsi, yang diakui sebagai leluhur dari Gotra Pasek, berasal dari mana?
Dang Hyang Nirartha, yang menjadi tokoh penting dalam restorasi besar keagamaan Hindu Bali, berasal dari mana?
Dang Hyang Astapaka, yang merupakan pewaris silsilah DIKSA BUDDHA-MAHAYANA di Bali, berasal dari mana?
Jika kita melihat lebih jauh, kita akan menemukan bahwa para tokoh tersebut, yang berperan besar dalam perkembangan Hindu Bali, datang dari luar Bali, terutama dari Jawa. Oleh karena itu, pertanyaan mengenai keaslian ajaran Hindu Bali sebagai ajaran yang murni berasal dari Bali perlu dijawab secara hati-hati.
Mpu Kuturan: Pembawa Ajaran dari Jawa
Mpu Kuturan adalah tokoh besar yang sangat mempengaruhi pembentukan sistem keagamaan dan sosial di Bali. Banyak lontar dan literatur yang menyebutkan bahwa Mpu Kuturan datang dari Maspait (Maospait) yang terletak di sekitar Maospati, Jawa Timur, lebih tepatnya di barat Madiun. Wilayah ini terkenal sebagai pusat spiritual pada masa Mpu Sindok dan Raja Airlangga, dua tokoh penting yang mempengaruhi kehidupan agama di Jawa.
Salah satu warisan terbesar yang dibawa oleh Mpu Kuturan adalah ajaran tentang Tri Parahyangan, yang mendasari penataan struktur desa di Bali. Konsep ini mengajarkan tentang pembagian kawasan desa menjadi tiga tempat utama: tempat pemujaan (pura), tempat pemerintahan (bale agung), dan tempat tinggal warga (puseh desa). Ajaran ini tidak baru, karena sudah ada sebelumnya di Jawa, namun Mpu Kuturan membawa dan menerapkannya di Bali dengan cara yang khas, sesuai dengan kebutuhan masyarakat Bali saat itu.
Di Bali, ajaran Mpu Kuturan dikenal dalam teks yang disebut Indik Ngangun Parahyangan yang mengatur penataan pura dan kawasan suci di Bali. Pura-pura yang ada di Bali, termasuk Kahyangan Tiga, diatur dalam tatanan ini, yang mencerminkan hubungan spiritual antara alam semesta, dewa-dewi, dan manusia. Selain itu, Mpu Kuturan juga dikenal sebagai pembawa sistem keagamaan yang lebih terstruktur, yang membentuk dasar bagi kehidupan spiritual masyarakat Bali.
Babad Pasek: Kedatangan Rsi dari Jawa
Dalam Babad Pasek, yang merupakan bagian penting dari sejarah keagamaan Bali, tercatat bahwa para rsi yang datang ke Bali berasal dari Jawa. Mereka datang untuk menyebarkan ajaran dan membangun tatanan keagamaan di Bali, serta memberikan petunjuk tentang tata cara upacara dan adat Bali. Beberapa rsi terkenal yang tercatat dalam babad ini adalah Mpu Kuturan, Mpu Mahameru, dan Mpu Gana.
Rsi-rsi tersebut tidak berasal dari Bali, melainkan dari kerajaan-kerajaan di Jawa. Masing-masing diberi tugas oleh Sang Hyang Pasupati untuk membawa ajaran spiritual ke Bali. Mereka datang pada abad ke-10 dan ke-11 Masehi, saat pemerintahan Raja Airlangga dan pemerintahan Mpu Sindok, dan ajaran mereka kemudian membentuk dasar ajaran Hindu Bali.
Ajaran Dang Hyang Nirartha: Pengaruh dari Jawa
Dang Hyang Nirartha (DHN) adalah salah satu tokoh sentral dalam sejarah keagamaan Hindu Bali. Kitab-kitab suci yang dibawa oleh DHN dari Jawa menjadi acuan bagi banyak upacara keagamaan di Bali hingga hari ini. DHN, yang merupakan seorang pendeta dari Jawa, membawa ajaran dan pengetahuan agama Hindu yang lebih luas dan mengajarkannya di Bali.
Selain ajaran agama, DHN juga mempengaruhi perkembangan sistem diksa di Bali, yang menjadi sangat penting dalam praktik agama Hindu Bali. Kitab-kitab yang dibawa oleh DHN, seperti Sang Hyang Kamahayanikan, merupakan warisan budaya Buddha-Mahayana yang masih dipraktikkan di Bali, terutama dalam upacara dan pengajaran spiritual.
Dalam pengaruh DHN, kita juga melihat perkembangan pesat dalam ritual keagamaan Bali, termasuk penggunaan mantra dan puja untuk memuja dewa-dewi yang melindungi Bali. Dengan menggabungkan ajaran-ajaran Buddha dan Hindu, DHN memperkaya keberagaman spiritual Bali, yang semakin membentuk sistem religius Bali yang kita kenal sekarang.
Dang Hyang Astapaka: Pewaris Ajaran Buddha-Mahayana
Dang Hyang Astapaka adalah seorang tokoh penting dalam sejarah agama Buddha-Mahayana di Bali. Beliau adalah penerus garis DIKSA BUDDHA-MAHAYANA yang datang dari luar Bali, tepatnya dari wilayah Jawa. Kitab-kitab Buddha yang dibawa oleh Dang Hyang Astapaka menjadi landasan ajaran dan praktik keagamaan di Bali, terutama di daerah seperti Budakeling, Gianyar, dan beberapa tempat lainnya.
Ajaran Buddha-Mahayana yang dibawa oleh Dang Hyang Astapaka berkembang di Bali dengan cara yang unik. Griya-griya Buddha yang ada di Bali, seperti Griya Dalem Setra di Batuan dan Griya Dlod Peken di Sanur, tetap melestarikan ajaran ini, meskipun agama Hindu Bali menjadi dominan. Ajaran yang dibawa oleh Astapaka ini menunjukkan bahwa Bali juga menerima pengaruh besar dari ajaran Buddha, yang datang dari luar Bali dan mengakulturasi dengan budaya lokal.
Hindu Bali Tidak Murni Bali
Dengan memperhatikan informasi yang telah dijelaskan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa Hindu Bali tidak bisa disebut sebagai ajaran yang "murni Bali." Banyak tokoh penting dalam sejarah Hindu Bali, seperti Mpu Kuturan, Dang Hyang Nirartha, dan Dang Hyang Astapaka, yang berasal dari Jawa dan memiliki pengaruh besar dalam pembentukan agama Hindu Bali. Mereka membawa ajaran-ajaran dari luar Bali, yang kemudian disesuaikan dengan kehidupan masyarakat Bali.
Bali, meskipun memiliki tradisi dan budaya yang khas, tidak dapat dipisahkan dari pengaruh budaya dan ajaran yang datang dari Jawa. Kita dapat melihat bahwa ajaran-ajaran yang berkembang di Bali memiliki akar yang sangat kuat dalam tradisi sastra dan agama Jawa Kuno. Oleh karena itu, mengklaim bahwa Hindu Bali adalah "murni Bali" adalah suatu kesalahan, karena sangat jelas ada pengaruh luar yang sangat besar dalam pembentukan ajaran Hindu Bali seperti yang kita kenal saat ini.
Penutup
Sebagai penutup, mari kita lebih bijaksana dalam menyatakan bahwa Hindu Bali adalah "murni Bali." Jangan hanya berdasarkan pada persepsi tanpa menggali lebih dalam tentang sejarah dan latar belakang agama Hindu Bali. Pengaruh Jawa sangat besar dalam pembentukan agama Hindu Bali, dan kita harus menghargai kontribusi besar yang datang dari luar Bali dalam membentuk ajaran-ajaran spiritual ini.
Penting untuk kita pahami bahwa I Gusti Bagus Sugriwa, tokoh Hindu Bali yang dihormati, tidak pernah mengklaim bahwa Hindu Bali adalah "murni Bali." Beliau selalu merujuk pada warisan sastra Jawa Kuno dalam setiap pemikirannya. Oleh karena itu, mari kita jaga dan pelihara warisan budaya ini dengan penuh rasa hormat dan pengertian yang lebih mendalam terhadap sejarah agama dan budaya Bali.
Komentar