Kata "Bali" (atau "Wali") dalam Kamus Jawa Kuno mengandung beberapa makna, salah satunya yang mirip dengan "kembali" dalam Bahasa Indonesia atau "mewali" dalam Bahasa Bali. Tapi, kembali ke mana? Jawabannya adalah "wit," yang berarti asal atau akar dari segala sesuatu. Konsep ini memiliki makna yang dalam dalam budaya Bali, yang sangat menghormati Ka-wit-an (asal-usul atau leluhur) dan "Kemulan."
Lalu, dimanakah "wit" atau asal itu sebenarnya? Dalam teks kuno berjudul Bhuwanakośa, dikatakan bahwa asal muasal manusia, alam semesta, dan dewa-dewi adalah "Sanghyang Ongkāra." Konsep ini menyiratkan bahwa semua yang ada di dunia ini berasal dari satu sumber yang sangat mendalam. Dari sinilah segala sesuatu berawal, dan dari sinilah pula segala sesuatu akan kembali.
Namun, dari mana asalnya "Sanghyang Ongkāra"? Jawabannya mungkin lebih mengejutkan, yaitu dari "Ketiadaan." Ketiadaan ini menjadi sumber dari segala yang ada, menciptakan "keberadaan" atau "ada" yang kita kenal dalam kehidupan sehari-hari. Dan, dalam ketiadaan inilah semua akhirnya akan kembali—sebuah konsep yang dikenal dalam ajaran Bali dengan sebutan Sangkan Paran, yaitu perjalanan spiritual yang berujung pada pemahaman dan pengembalian diri ke asal-usul kehidupan.
Perjalanan Para Resi ke Bali
Sejak zaman dahulu, Bali telah menjadi tujuan bagi banyak tokoh suci dan resi. Rsi Agastya, Rsi Markendya, Dang Hyang Siddhimantra, Mpu Kuturan, serta Mpu Dwijendra, semuanya datang ke Bali untuk mendirikan 'pasraman' (tempat untuk bermeditasi atau belajar) dan beryoga. Tujuan mereka sangat jelas: mencari 'wit', mencari asal-usul atau pemahaman yang lebih dalam tentang kehidupan dan semesta, dan kembali kepada Sang Wiwitning Bhuwana—sumber dari seluruh alam semesta.
Bali, yang dikenal juga dengan sebutan Bumi Bangsul, menjadi tempat yang disucikan oleh para resi tersebut. Tak hanya sekadar tempat berziarah, Bali menjadi tanah yang dianggap sakral, hampir seperti sebuah "tanah suci" yang menyatukan mereka dengan asal usul kehidupan. Di sini, mereka bukan hanya mencari pencerahan spiritual, tetapi juga mencari jalan untuk kembali ke Sang Pencipta. Beberapa tokoh spiritual ini bahkan mencapai Moksha atau penyatuan dengan asalnya di Bali. Mpu Dwijendra, misalnya, menemukan kedamaian spiritual di Pura Uluwatu, sementara Mpu Kuturan menetap di Pura Silayukti, dan Rsi Markendya di Pura Pucak Payogan.
Bali Sebagai Tempat Ziarah Spiritual
Namun, itu adalah zaman dulu—sebuah zaman ketika Bali menjadi 'tanah suci' tempat para resi dari India maupun Nusantara mencari kedamaian spiritual. Bali, pada masa itu, dihormati sebagai tempat ziarah dan pertapaan, bukan hanya oleh umat Hindu, tetapi juga oleh para pencari ilmu spiritual dari luar Bali. Bali menjadi titik pertemuan antara kehidupan fisik dan spiritual, tempat di mana manusia dapat merasakan kedekatannya dengan Sanghyang Maha Esa, melalui praktik spiritual dan yoga yang diajarkan oleh para resi.
Kini, zaman telah berubah. Bali yang dahulu dikenal sebagai tempat ziarah bagi para resi dari berbagai belahan dunia, kini berubah menjadi tujuan bagi banyak orang yang mencari kedamaian dan kebahagiaan, meskipun dengan cara yang berbeda. Sebagian besar orang kini lebih memilih untuk melakukan perjalanan spiritual ke India, tempat asal ajaran-ajaran spiritual yang mendalam.
Namun, meski zaman telah berubah, makna dari pencarian 'wit' atau asal muasal kehidupan tetap relevan. Di Bali, meskipun banyak yang datang untuk berlibur atau menikmati keindahan alam, ada pula mereka yang mencari kedamaian batin dan spiritualitas yang lebih dalam. Bali tetap menyimpan aura sebagai tempat yang sakral, tempat di mana seseorang bisa merenung, menghubungkan diri dengan asal usul kehidupan, dan kembali kepada Sang Pencipta.
Bali bukan hanya sebuah tempat geografis. Ia adalah tempat yang memiliki makna mendalam dalam perjalanan spiritual setiap individu. Dari 'wit' yang tak terhingga, ke ketiadaan yang penuh makna, Bali tetap menjadi titik fokus pencarian kebijaksanaan yang abadi.
Komentar