Bhuta Kala mengingatkan dalam keheningan: 'Kau bukan siapa-siapa, kau belum seberapa.' Galungan adalah waktu untuk berkaca, memohon petunjuk kepada Leluhur dan semesta, agar menemukan 'Galang' — kekuatan sejati dalam hati.
Galungan adalah hari yang penuh makna bagi umat Hindu, tetapi bagi saya, hari ini lebih dari sekadar perayaan kemenangan atau keberhasilan. Galungan juga menjadi momen refleksi diri, untuk bertanya apakah kita sudah memahami makna sejati dari kebajikan, ajaran agama, dan peran kita di dunia ini.
I Bhuta Dungulan: Cerita yang Selalu Diceritakan
Ketika saya hendak berbicara tentang cerita rakyat, I Bhuta Dungulan (sebuah entitas yang melambangkan waktu) dalam hati kecilku tertawa, "Satua buin satuang," yang artinya, cerita itu selalu diceritakan lagi, seolah tak ada habisnya. Ada banyak cerita yang kita dengar, tetapi apakah kita benar-benar merenungkan maknanya? Ataukah kita hanya sekadar mengulang tanpa memahami inti pesan yang terkandung di dalamnya?
I Bhuta Galungan: Apakah Kita Sudah Bijak?
Saat saya hendak berbicara tentang kebajikan, I Bhuta Galungan ikut tertawa dan berkata, "Sudah bijakkah engkau?" Dalam hidup ini, kita sering merasa sudah tahu apa yang benar dan baik, namun apakah kebijaksanaan kita sudah sejalan dengan tindakan kita? Galungan mengingatkan kita untuk tidak hanya berfokus pada pencapaian pribadi, tetapi untuk bertanya pada diri sendiri, apakah kita sudah benar-benar bijaksana dalam setiap langkah yang kita ambil?
I Bhuta Amangkurat: Apakah Kita Sudah Paham?
Dalam merenungkan ajaran agama, I Bhuta Amangkurat (entitas yang melambangkan kekuatan rohani) juga tertawa, "Sudah pahamkah kau?" Ajaran agama bukan sekadar kata-kata atau ritual belaka, tetapi apakah kita benar-benar memahami inti dari ajaran tersebut dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari? Dalam perayaan Galungan, kita diingatkan untuk memeriksa diri, apakah pemahaman kita sudah tepat dan mendalam.
I Bhuta Wirosa: Sudahkah Kita Jadi Panutan?
Dalam hal susila dan moralitas, I Bhuta Wirosa mengingatkan, "Sudah patutkah kau jadi panutan?" Galungan mengajak kita untuk mengevaluasi diri, apakah kita sudah bisa menjadi contoh yang baik bagi orang lain. Sebagai umat yang beriman, kita harus mampu menjalani kehidupan yang sesuai dengan nilai-nilai luhur, tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk masyarakat sekitar.
I Bhuta Togtogsil dan I Bhuta Prungut: Berapa Banyak yang Sudah Kita Pelajari?
Dalam perenungan tentang sejarah dan budi pekerti, saya mendengar tawa I Bhuta Togtogsil dan I Bhuta Prungut. Mereka bertanya, "Kau manusia baru kemarin sore," dan "Sebaiknya kau berkaca dulu!" Mereka mengingatkan saya bahwa hidup ini adalah perjalanan panjang. Kita harus terus belajar dari sejarah dan pengalaman untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
I Bhuta Dengen: Sudah Beradabkah Kita?
Terakhir, dalam konteks situasi sosial, I Bhuta Dengen bertanya, "Sudah beradabkah engkau?" Galungan adalah saat yang tepat untuk merenungkan bagaimana kita berinteraksi dengan sesama. Apakah kita sudah berperilaku dengan adab yang baik, penuh hormat, dan menjaga hubungan yang harmonis dengan orang lain?
Renungan Diri di Hari Suci Galungan
Setiap kali saya ingin menuliskan pemikiran atau berbicara tentang suatu hal, para Bhuta Kala ini mengingatkan saya dengan tawa mereka yang penuh makna. Mereka mengingatkan saya bahwa saya bukanlah siapa-siapa, bahwa saya harus selalu rendah hati dan tidak sombong dalam berbicara. Rupanya aku I Jugul Punggung (si dungu) pongah juari bertutur. "Mabet ririh" sok tahu sok bisa.
Aku jadi malu kepada Sang Bhuta Dungulan, Bhuta Galungan, Bhuta Amangkurat, beserta saudara-saudaranya. Mereka adalah utusan Hyang Betari Nini Bagawati yang datang untuk mengingatkanku.
Dumogi Ngemanggihin Galang Ring Rahina Galungan
Pada akhirnya, Galungan bukan hanya tentang merayakan kemenangan atau keberhasilan, tetapi juga tentang kembali ke dasar, untuk mencari "Galang," yaitu kedamaian, kebijaksanaan, dan pemahaman yang lebih dalam. Setiap langkah yang kita ambil di dunia ini harus dipenuhi dengan kesadaran bahwa kita sedang belajar, berkembang, dan memperbaiki diri.
Sebagai umat yang beriman, kita harus terus mengingat bahwa perjalanan spiritual ini adalah tentang menemukan “Galang”—kekuatan batin, kebijaksanaan, dan kedamaian dalam setiap langkah hidup. Dalam perayaan Galungan, mari kita mohon petunjuk dari para leluhur dan Dewa-Dewi agar kita diberi kekuatan untuk hidup dengan lebih bijak dan penuh makna. Dumogi ngemanggihin Galang ring rahina Galungan, semoga kita menemukan kedamaian dan kebijaksanaan sejati dalam perjalanan hidup ini.
Komentar (2)
Baru tau saya ternyata seperti ini. Tulisan yang bagus. Suksma
Suksma tulisannya, sangat jarang bisa ditemukan penulis yang punya pemikiran seperti ini. Rahayu lanjutkan terus nggih.